Perbudakan Modern



PERBUDAKAN MODERN: MITOS ATAU REALITAS ?

Oleh: Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Perbudakan bukanlah murni masalah masa lalu yang telah disimpan rapi di museum sejarah. Fenomena ini muncul hampir di setiap episode kehidupan manusia tanpa mengecualikan hari ini. Mungkin inilah rahasia tidak adanya keterangan meyakinkan bahwa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang mengupas konsep perbudakan telah dihapuskan (mansûkh). Paling tidak ada dua kemungkinan penyebab kesimpulan yang mengatakan bahwa perbudakan telah terkikis di alam modern. Pertama, tidak dipahaminya dengan benar substansi perbudakan klasik sehingga terjadi kesulitan untuk melakukan qiyâs dalam menatap fenomena modern; Kedua, adanya kesengajaan memutus terminologi perbudakan karena prilaku terkutuk itu “tidak mungkin” dilakukan manusia modern yang “lebih beradab”.

A. PENDAHULUAN

Perbudakan, oleh sementara kalangan, dianggap sebagai terminologi klasik yang sudah memfosil. Kajian terhadap konsep ini dan literatur terkait diartikan sebagai pemasungan diri dan kualitas intelektual pada realitas masa lalu yang telah kehilangan kontekstualisasinya di masa kini. Pasalnya, secara “resmi”, perbudakan di Eropa telah dihapuskan dengan digulirkannya Revolusi Perancis dan di Amerika dengan dekrit Presiden Abraham Lincoln.

Betulkan perbudakan telah lenyap dari muka bumi? Benarkah bahwa tidak ada lagi manusia di dunia ini yang pantas dikatakan sebagai budak? Sebuah pertanyaan dan persoalan mendasar yang sangat menggelitik untuk dikaji serius, serta sebuah tesis yang harus dibuktikan. Namun, sesuatu yang pasti bahwa tidak cukup jari tangan dan kaki seorang manusia untuk menghitung jumlah ayat-ayat al-Qur’an yang membahas persoalan perbudakan. Begitu juga halnya dengan hadis-hadis Nabi SAW. Seiring dengan itu, tidak satupun keterangan dan pendapat meyakinkan yang ditemui bahwa setumpuk argumen naqli itu telah dihapuskan (mansûkh).

B. PEMAKNAAN ISTILAH

Dalam bahasa Indonesia, budak berarti anak, kanak-kanak; abdi, hamba; dan orang gajian (Tim Penyusun Kamus, 1996: 149). Bahasa Inggris memiliki dua istilah yang sering diartikan sebagai budak, yaitu servant dan slave. Servant berarti pelayan, pembantu; orang yang mengabdi pada seseorang atau sesuatu (Peter Salim, 1993: 766). Lebih lengkapnya, A.S. Hornby mengartikan dengan person who works in household for wages, food and lodging (seseorang yang bekerja pada rumah tangga untuk mendapatkan gaji, makanan dan tempat tinggal) (A.S. Hornby, 1987: 778). Dari sinilah lahirnya istilah civil cervant, yang diartikan dengan pegawai negeri.

Kata slave berarti budak, pekerja keras, atau orang yang dipengaruhi oleh kebiasaan (Peter Salim, 1993: 793). Dalam makna yang lebih lengkap dikatakan oleh Hornby dengan person who is the property of the another and bound to serve him (seseorang yang dimiliki oleh orang lain dan dia harus siap untuk melayaninya) (A.S. Hornby, 1987: 807). Agaknya makna dari kata slave lebih mendekati pada pengertian budak secara umum dibandingkan dengan servant. Itulah sebabnya dalam bahasa Inggris perbudakan disebut dengan slavery.

Menurut Hamka budak berarti seseorang yang tidak merdeka. Dia menjadi milik tuannya sebagaimana sebuah barang. Budak boleh dijual, dihadiahkan atau dijadikan sebagai istri (jika wanita). Anak hasil hubungan seorang tuan dengan budaknya adalah sah (Hamka 7, 1994: 10). Secara hukum, budak merupakan setengah manusia (merdeka). Di satu sisi dia merupakan manusia yang normal dan di sisi lain dia adalah harta atau benda yang sepenuhnya dimiliki oleh tuannya. Budak tidak bisa berbuat sesuatu sesuai dengan keinginannya. Dia harus berpikir dan berbuat sesuai dan untuk kepentingan tuannya. (Muhammad Abdul Mujieb, 1995: 1-2).

Al-Qur’an menggunakan lima istilah kunci ketika membicarakan persoalan budak, yaitu ‘abd (‘Ibâd), mâ malakat aymân; raqabah (riqâb), amah (imâ’), dan fatayât. Kata ‘abd (hamba/budak laki-laki) dan amah (hamba/budak perempuan), dalam masyarakat Arab, memiliki konotasi yang sangat negatif dan menghina. Orang yang disebut dengan ‘abd atau amah telah kehilangan kemanusiaannya karena dirinya dimiliki sepenuhnya oleh orang lain. Itulah sebabnya Rasul melarang umat Islam memanggil budak dengan kedua istilah itu dan menggantinya dengan mâ malakat aymân (yang dimiliki oleh tangan kanan), fatâ/fatât/fatayâh (pemuda/pemudi) (Muhammad bin Ismail al-Bukhâriy 2, 1997: 768).

Al-Qur’an menggunakan kedua istilah ini, di samping dalam konteks “pengakuan” terhadap realitas dan nasib budak masa itu, juga untuk memperbaiki image dan makna keduanya serta mengangkat orang yang dikenakannya. Hal itu terlihat jelas pada penggunaannya, di samping untuk budak, Allah juga menyebut hamba-Nya yang taat dengan ‘abd/’ibâd (QS. al-Furqân [25]: 63). Kemudian, ketika menyebut budak, kedua istilah ini seringkali diiringi dengan perintah untuk melindungi hak-hak asasinya sebagai manusia biasa.

Rasulullah menggunakan kata yang lebih variatif untuk menyebut seorang budak. Kata-kata yang digunakan adalah ‘abd, raqabah, mâ malakat aymân, amah, mamlûk, khâdim, jâriyah, ghulâm, fata, dan riqq. Kata-kata ‘abd, raqabat, amat, dan mamlûk lebih dikenal untuk pengertian budak secara umum. Sedangkan penggunaan kata mâ malakat aymân, khâdim, ghulâm, fata, amat, jâriyat, riqq, lebih mengesankan adanya makna khusus yang ingin ditampilkan dalam rangka memperbaiki citra budak di tengah masyarakat.

Nabi ingin memberikan nuansa baru terhadap budak berkenaan karena segala macam tidak semena-mena yang diterima selama ini. Untuk itu mereka disebut dengan mâ malakat aymân (orang-orang yang dikuasai oleh tangan kanan. Di samping bisa dimanfaatkan, sang tuan juga punya tanggung jawab padanya di dunia dan akhirat, bukan hanya untuk dieksploitasi jiwa raganya); khadim, ghulam, fata (seorang pemuda, di samping dapat dimanfaatkan untuk membantu dan melayani berbagai kebutuhan, juga seorang manusia yang memiliki hati dan nurani dan butuh perlakuan manusiawi).

Budak-budak wanita dipanggil dengan jâriyah, dan fatayât (seorang perempuan, gadis dan pemudi yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Di samping itu, dia juga adalah makhluk yang lemah dan terhormat yang sangat berharap untuk dilindungi dan dijaga kehormatannya itu). Para budak adalah orang-orang lemah yang perlu dikasihani, diayomi, dibimbing, dan ditumbuhkan lagi kepercayaan dirinya (riqq) untuk bisa hidup normal kembali.

Jadi, al-Qur’an dan hadis tetap mengakui bahwa budak merupakan milik tuannya dengan catatan bahwa kepemilikan itu tidak mutlak seperti zaman sebelumnya. Budak harus mendapatkan pengakuan terhadap kemanusiaannya, karena itu mereka juga berhak terhadap perlakuan-perlakuan baik sebagaimana manusia lainnya yang merdeka. Seorang muslim tidak boleh memanggil, apalagi menganggap, budak yang dimilikinya sama dengan barang atau binatang. Seiring dengan hak tuan terhadap budaknya, dia juga mempunyai kewajiban tertentu yang harus ditunaikan. Lewat hadis-hadisnya, Rasul menggunakan istilah yang memberikan kesejukan kepada para budak. Sebutan itu, di samping banyak yang juga dipakai untuk orang merdeka, juga menggambarkan penghargaan Islam yang tinggi kepadanya.

Perlu juga dijelaskan bahwa, secara sederhana, modern berarti masa sekarang atau kini (the present or recent times) (A.S. Hornby, 1987: 544). Secara umum, kata ini berarti baru, terkini, mutakhir (John M. Echol dan Hassan Shadily, 1992: 384). Dalam bahasa Arab istilah ini dikenal dengan mutaakhkhir, atau lawan dari kuno lama, masa lalu dan klasik. Perbudakan modern yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah perbudakan masa kini, atau masa di mana manusia mengklaim diri mereka sebagai masyarakat yang telah maju, rasional, beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan memproklamirkan perang dengan segala macam perbudakan. Masa ini ditandai dengan terjadinya Revolusi Perancis dan keluarnya dekrit Presiden Amerika, Abraham Lincoln.

C. REALITAS PERBUDAKAN MODERN

Secara resmi, perbudakan di Eropa memang telah dihapuskan dengan Revolusi Perancis, di Amerika dengan keluarnya dekrit Abraham Lincoln dan di dunia dengan kesepakatan bangsa-bangsa. Benar adanya bahwa perang saudara yang terjadi antara Amerika Utara (yang ingin menghapuskan perbudakan) dengan Amerika Selatan (yang ingin mempertahankannya) dimenangkan oleh Amerika Utara. Bahkan penghapusan perbudakan ini telah menimbulkan gejolak sosial yang besar dan Abraham Lincoln, sang pencetus, menjadi korban dari idenya sendiri (Hamka, 1994: 73). Persoalannya, apakah sejak saat itu tidak ada lagi praktek perbudakan, atau perbuatan yang bentuknya lain tapi substansinya tidak berbeda dengan perbudakan di zaman klasik? Ini pertanyaan mendasar yang mesti dijawab dengan penuh kejujuran.

Pada tahun enam puluhan, Mahmûd Syalthût telah berbicara lantang tentang persoalan ini dalam bukunya al-Islâm: Aqîdah wa Syarî’ah (Quraish Shihab, 1997: 813-814). Syalthût menulis :

Menurut pandangan saya, perbudakan bentuk lama telah digantikan oleh perbudakan masa kini yang lebih berbahaya terhadap kemanusiaan. Wujud baru itu adalah penjajahan terhadap bangsa-bangsa dalam hal pikiran, harta, kekuasaan dan kemerdekaan negara mereka. Dahulu, perbudakan menyangkut pribadi dan berakhir dengan kamatian, sementara negara mereka tetap merdeka. Adapun dalam perbudakan terhadap bangsa, siapapun yang lahir di sana akan tetap merintih di bawah perbudakan sebagaimana keadaan orang tua mereka. Perbudakan masa kini merupakan perbudakan abadi dan menyeluruh yang dipaksakan oleh suatu agresi yang bersifat sangat aniaya. Alangkah wajarnya perbudakan seperti itu diberantas, bukan hanya melalui penyisihan sebagian harta zakat, tetapi juga dengan segala macam harta, bahkan jiwa.

Ketika mengomentari pendapat ini, Shihab memberikan jabaran yang agak luas (Quraish Shihab, 1997, 814). Dalam hal ini Shihab menyatakan bahwa manusia sekarang tidak lagi diperbudak dengan metode klasik. Sadar atau tidak sebagian manusia sekarang tidak lagi menikmati kemerdekaan sebagaimana layaknya manusia. Mereka terbelenggu oleh perbudakan yang sulit untuk diungkapkan, namun sangat dirasakan.

Salah satu sosok budak modern, menurut Shihab, adalah sebagian manusia terpelajar yang menyediakan diri dan pengetahuannya untuk tujuan yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Orang-orang ini diperdagangkan layaknya budak di tengah derasnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagian mereka mungkin sadar dan ingin bebas, tetapi mereka terikat kontrak dengan “sang tuan” dalam jumlah yang tidak dapat ditebusnya. mereka sama dengan budak masa lalu yang terikat lehernya (raqabah).

Senada dengan Shihab, namun dengan nada yang lebih keras, dikemukakan oleh Ali Shariati, seorang intelektual muslim syi’ah yang gigih menentang Syah Iran (Ali Shariati, 1987, 96-97).

Dengan sangat gamblang Shariati bicara : “Saya menyaksikan jenis perbudakan lain yang sedang dipraktekkan di pusat-pusat intelektual Eropa, Cambridge dan Sorbonne. Budak-budak yang diperdagangkan di sana bukannya manusia-manusia primitif dari rimba raya Afrika, akan tetapi adalah kaum intelektual yang sangat pintar di muka bumi. Mereka diletakkan dalam suatu pelelangan untuk suatu harga yang sangat tinggi. Sesungguhnya mereka sendirilah yang menawarkan diri untuk dilelang di hadapan barisan para kapitalis, agen-agen korporasi, dan perusahaan raksasa dari Amerika Serikat, Eropa, Cina, Rusia, dan bagian lain di dunia industrial.

Seseorang mengatakan bahwa dia sanggup membayar sarjana yang baru lulus, segera lulus, calon doktor, ahli kimia, insinyur, atau sosiolog, dengan 15.000 toman perbulan. Calon tuan lain mengatakan bahwa dia sanggup menyediakan kendaraan pribadi. Sedangkan yang lainnya lagi menjanjikan jumlah uang di atas itu, kendaraan, dan sopir pribadi. Budak modern yang dijadikan sasaran tawar-menawar akan melihat calon tuannya lebih dahulu, termangu-mangu sebentar, dan kemudian akan mengikuti tuan yang sanggup memberikan bayaran tertinggi”.

Dalam komentarnya, Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa perbudakan masa kini bukan hanya seperti yang terlihat pada zaman dahulu. Pada masa sekarang terdapat berbagai macam jenis perbudakan, seperti perbudakan politik, industri, dan sosial (Abdullah Yusuf Ali, tth.: 1739). Dan dengan ungkapan berbeda, Muhammad Quthb mengakui bahwa perbudakan belum berakhir, tapi hanya berganti nama. Jika masa lalu manusia masih jujur berbahasa dengan mengatakan bahwa realitas tersebut sebagai perbudakan, maka manusia sekarang lebih mampu mengemas realitas menjijikkan itu dengan bahasa yang indah, halus dan bersahabat (Muhammad Quthb, 1973: 52).

Menyimak pendapat para pakar di atas, dapat dikatakan bahwa mereka sama-sama melihat realitas perbudakan di masa kini. Propaganda penghapusan perbudakan telah mengalami kegagalan dan klaim bahwa perbudakan telah berakhir sangat perlu dipertanyakan. Bahkan, melihat format perbudakan terkini yang dikemukakan di atas, ada kecendrungan yang sangat besar bahwa praktek perbudakan dilakukan oleh negara-negara pengusung propaganda di atas dan mereka berlagak sebagai penjunjung tingginya. Dengan kata lain, meminjam pendapat Syalthût, perbudakan modern dilakukan oleh negara-negara imperialis yang nota bene berasal dari benua Eropa dan Amerika.

Untuk menguji pendapat di atas, sangat penting dipahami terlebih dahulu substansi dan karakteristik perbudakan klasik. Hasil kajian itu sangat berguna untuk mengevaluasi realitas masa kini guna mendeteksi ada tidaknya perbudakan modern. Secara umum, substansi dan karakteristik perbudakan tempo dulu dapat dikatakan :

Pertama, budak berasal atau didapatkan dari peperangan, pembelian, penculikan, penangkapan dan keturunan. Kisah yang dialami Zaid bin Haritsah, misalnya, adalah contoh dari sebuah penangkapan. Ketika masih kecil, Zaid dibawa oleh ibunya ke kampung Bani Ma’na. Sewaktu sekelompok Badui merampok daerah tersebut, mereka menangkap para wanita dan anak-anaknya yang tidak terselamatkan, termasuk Zaid bin Haritsah Zaid kecil kemudian dibawa ke pasar budak, ‘Ukadz, untuk dijual (al-Jazariy, tth.: 129; Khalid Muhammad Khalid, 1994, 257). Nasib yang sama juga dialami oleh budak-budak Afrika abad ke-16. Mereka ditangkap, layaknya seorang pemburu menangkap buruannya, kemudian dijual ke calo budak untuk dibawa ke Amerika (Republika, 1999: 1).

Kedua, budak merupakan manusia yang dimatikan keinginan, rasa, pikiran dan cita-citanya. Dia tidak boleh berhasrat di luar batasan hidup yang ditetapkan tuannya. Budak tidak pantas merasa jijik, letih, penasaran, sedih, takut, enggan dan menolak segala tugas yang diberikan. Baginya tidak ada arternatif lain kecuali mengikuti sang tuan. Budak juga tidak usah berpikiran di luar batas tugasnya. Jika sang tuan menyuruh bekerja di ladang, dia tidak perlu memikirkan tentang hasil kerjanya, bagaimana mengolah dan kemana dijual. Karena tugasnya adalah bekerja, maka segenap pikiran, perasaan dan tenaganya harus terpusat hanya pada pekerjaan tersebut.

Ketiga, budak dimiliki oleh tuannya. Perlakuan tuan terhadap budaknya sama dengan perlakuan seseorang terhadap hewan atau barang. Dia bisa dipe-kerjakan tanpa digaji, bahkan hanya diberi makan, pakaian, dan tempat tinggal sekedarnya. Seperti halnya Bilal bin Rabah sebelum Islam yang hanya men-dapatkan dua genggam kurma dari menggembala unta dan domba (Khalid Muhammad Khalid, 1994: 105). Budak juga bisa ditelantarkan, dijual, dibuang, dihadiahkan, dianiaya dan dibunuh. Kalau dia wanita dan tuan berkenan, dia bisa digauli tanpa harus dinikahi, disuruh melacur dengan orang lain untuk tuannya. Al-Qur’an (QS. al-Nahl [16]: 75) mengistilahkan nasib budak ini dengan ‘abdan mamlûkan lâ yaqdiru ‘alâ syai’ (seorang yang benar-benar dikuasai orang lain sehingga dia tidak punya wewenang apa-apa, termasuk pada dirinya sendiri).

Pada zaman Romawi kuno, budak tidak hanya disuruh bekerja di ladang atau di lahan produktif lainnya. Mereka juga diwajibkan “menghibur” tuan-tuan mereka dengan taruhan nyawa. Budak-budak dijadikan tontonan dengan mengadu sesama mereka dalam satu perkelahian hidup-mati. Mereka dipaksa saling membunuh untuk mempertahan kehidupan masing-masing. Keringat bercucuran, darah mengalir dan mereka yang mengelepar-gelepar seperti ayam menyambut kematian merupakan hiburan yang sangat menyenangkan bagi tuan-tuan mereka (Muhammad Quthb, 1973: 36).

Keempat, budak bisa mendapatkan kemerdekaannya dengan jalan melarikan diri, membayar tebusan kepada tuan dengan harga yang ditentukan, atau dibuang oleh tuannya karena tidak bisa dimanfaatkan lagi. Melarikan diri merupakan jalan termungkin, sekaligus sangat berbahaya bagi budak untuk merdeka karena mereka yang dipekerjakan di ladang dan diawasi secara ketat oleh pengawal-pengawal yang kejam. Hanya budak-budak yang kuat dan nekat saja yang berani menempuh jalan ini. Membayar tebusan merupakan sesuatu yang jauh dari mungkin, jika tidak dapat disebut mustahil, bagi para budak. Dia tidak mungkin mendapatkan harta untuk membayar dirinya. Cara ini terlaksana jika ada keluarga, famili, kaum atau orang lain yang bermurah hati menebusnya.

Menyimak substansi perbudakan klasik dan beberapa karakteristik sosio-historis yang melekat padanya, maka beberapa pendapat berkenaan dengan perbudakan modern yang disitir di atas tidaklah dapat disangkal. Kebenaran pendapat mereka, paling tidak, dapat disorot dari dua sudut. Pertama, memang banyak manusia sekarang yang jasad, pikiran dan jiwanya dimiliki oleh orang lain. Bahkan ada bangsa dan negara yang hidup di bawah telapak kaki bangsa lain. Kedua, sangat tepat jika dikatakan bahwa format perbudakan telah mengalami banyak modifikasi sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihat realitas tersebut.

Jika dianalisa lebih dalam, sebenarnya perbudakan modern tidak hanya terbatas pada format yang dikatakan oleh beberapa pendapat di atas. Memang benar bahwa perbudakan telah dikemas dalam bentuk yang lebih “santun” dan “manusiawi”, terutama labelnya. Sebagaimana diungkap oleh Ali Syari’ati dan Quraish Shihab bahwa sekelompok orang terpelajar, bahkan sangat terdidik “otaknya”, melacurkan diri untuk mengabdi kepada harta sehingga mau dipajang dengan berbagai tarif di “pasar budak” internasional. Namun, perbudakan dengan format klasik pun masih didapatkan di banyak bagian bumi ini.

Mengamati agresi militer dan penjajahan akan sangat mudah menemukan potret perbudakan itu. Lihat saja bagaimana Rusia memperlakukan tentara Jepang dengan kasar dan dikirim ke Siberia. Nasib yang sama dialami oleh tawanan perang dunia kedua. Bagaimana pula dengan wanita Jerman diperkosa secara sadis sewaktu Sekutu memasuki negeri itu. Begitu juga nasib yang dialami oleh wanita Jepang. Lihatlah prilaku Perancis terhadap orang-orang Maroko, Tunisia dan Aljazair. Mereka membunuh ratusan ribu orang yang menuntut kemerdekaan.

Barat yang katanya paling beradab dan peduli terhadap HAM bertindak sewenang-wenang terhadap umat Islam yang ada Afghanistan, Palestina, Bosnia dan tempat lainnya. Jutaan umat Islam dibantai, ratusan wanita diperkosa dan dipaksa melahirkan anak haram mereka. Wanita hamil dibedah perutnya dengan kejam tanpa alasan. Sumber-sumber kehidupan mereka ditutup dan tempat tinggal mereka diratakan dengan tanah. Banyak di antara mereka yang dipaksa melakukan pekerjaan berat dan sebagainya. Ini semua adalah perbudakan, yang bahkan lebih telanjang dan kasar. Rakyat Indonesia sendiri tidak ada bedanya dengan budak ketika terjadi penindasan oleh Belanda dan Jepang.

Dalam format yang orisinil, perbudakan masih bertebaran di banyak belahan dunia. Di Indoneisa, misalnya, praktek perbudakan sangat merajalela dan semakin sulit dijamah hukum. Dalam banyak kasus pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI), terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW), ke luar negeri terjadi praktek perbudakan yang kasat mata. Para calon TKI dijaring dari daerah dengan seribu satu janji dan penipuan (mirip dengan seorang pemburu budak menangkap mangsanya di pedalaman Afrika). Setelah calon TKI “dibekali” keterampilan dan persyaratan, tentu saja dengan dipungut biaya tinggi, mereka “dijual” ke luar negeri untuk satu jenis pekerjaan kasar yang belum pasti.

Banyak di antara mereka yang diperlakukan persis seperti budak zaman dulu karena mereka telah “dibeli”, di samping tidak sedikit di antara mereka yang terlunta-lunta karena tidak memiliki dokumen yang lengkap. Ada juga yang gagal dikirim, tapi disekap dalam sebuah rumah di Jakarta dengan makanan seadanya. Mereka tidak bisa pulang karena seluruh perbekalan keuangan telah disikat habis oleh calo yang telah raib entah ke mana.

Para buruh mendapat pelakuan yang tak kalah kejam dengan nasib Bilal bin Rabah. Para buruh dipekerjakan dengan jam kerja non-stop yang panjang, terkadang tanpa ada waktu untuk beribadah. Imbalan yang diterima tidak lebih dari sekedar biaya makan, rokok, transportasi dan menyewa tempat tinggal sangat sederhana. Bahkan ada yang tidak betah melanjutkan pekerjaan karena tidak sanggup menutupi kekurangan mereka dengan pendapatan setiap bulannya.

Banyak sekali gadis-gadis yang ditangkap di desanya dan kemudian dijual kepada seorang germo. Mereka dipekerjakan sebagai pelacur, disekap seperti tawanan yang diawasi para tukang pukul dan diberi gaji yang tidak lebih dari pembeli alat kosmetika. Ada juga sebagian oknum yang menangkap bocah-bocah yang lepas dari pengawasan orang tuanya untuk dijual dengan harga yang tinggi.

Memang benar yang dikatakan Muhammad Quthb dan Nashih ‘Ulwan bahwa perbudakan telah berubah bentuk (Abdullah Nashih ‘Ulwan, 1988: 65-76; Muhammad Quthb, 1973: 43-47). Akan tetapi, manusia hari ini tidak mau menamakan semua pembantaian, perkosaan masal, pencabutan akar-akar kehidupan, perdagangan manusia (bocah, anak gadis dan istri tetangga), meminum darah dan keringat buruh, menggusur orang-orang lemah ke tampat tandus demi “pembangunan”, serta membiarkan orang-orang miskin telanjang dan tidak bertempat tinggal dengan istilah perbudakan. Semua itu dinamakan dengan pembangunan, kepedulian, solidaritas, persaudaraan, persamaan, pemerataan dan saling berbagi keuntungan. Padahal, apa yang dilakukan itu jauh lebih jahat perbuatan manusia “primitif” yang hidup di zaman “kuno”.

D. ALTERNATIF SOLUSI

Secara historis, al-Qur’an diturunkan pada masyarakat yang mempraktekkan perbudakan. Sebagai kitab suci yang membawa misi pembebasan budak (QS. al-Balad [90]: 13), maka al-Qur’an memberikan penjelasan menawarkan penyelesaian masalah sosiologis perbudakan ketika itu. Di dalamnya terdapat banyak penjelasan tentang terapi mental dan pisik yang harus dilakukan umat Islam dalam mengobati permasalahan perbudakan.

Sebelum seorang budak dimerdekakan secara pisik, kepadanya harus diberikan perbekalan mental. Para budak diajarkan memandirian jiwa dan pisik dan bagaimana menatap kehidupan luar yang lebih keras dan menantang. Sang tuan juga dipersiapkan secara mental untuk melepas budaknya, sehingga dia tidak merasa kehilangan atau rugi dengan merdekanya budak yang dimiliki. Al-Qur’an tidak aniaya dalam membebaskan budak. Artinya, walaupun hal itu merupakan perbuatan mulia, al-Qur’an tidak memaksa seorang tuan untuk memerdekakan budaknya sehingga ia merasa ditekan dan dirugikan.

Cara yang ditempuh al-Qur’an untuk memerdekakan budak secara psikis dan pisik tidak merugikan pihak manapun. Budak merasa sangat beruntung bisa menikmati alam kemerdekaan dan tuan sangat puas setelah sukses melakukan amalan yang dapat mengantarkannya ke syurga. Jika secara materi ada yang tidak bisa direlakan, Islam mewajibkan budak untuk menebusnya atau meminta orang lain untuk membayarkan kemerdekaan dirinya. Islam juga memberikan jalan yang sangat manis, di mana tuan dan budak diikat terlebih dahulu sebagai “suami-istri” sehingga terpenuhi segala hasrat kedua belah pihak, kemudian baru memberikan kemerdekaan kepada budak itu.

Pertanyaannya, bisakah ajaran al-Qur’an digunakan untuk menghapuskan perbudakan universal modern? Secara doktrinal, al-Qur’an memuat ajaran-ajaran penting bagi manusia yang aplikatif di setiap dimensi ruang dan waktu. Dari keyakinan itu dapat dikembangkan bahwa perbudakan yang ingin dihapuskan al-Qur’an secara gradual itu bukan hanya yang ada sebelum kedatangannya saja. Obyek dari al-Qur’an itu adalah segala bentuk perbudakan yang sama secara format atau substansi dengan yang ada ketika Islam pertama kali diserukan oleh Rasulullah.

Bagi umat Islam yang mempercayai kitab sucinya, al-Qur’an tentu saja dapat dioperasionalkan untuk menghapuskan perbudakan modern yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini. Tuntunan Islam yang akan diterapkan itu tentu saja merupakan hasil pemahaman al-Qur’an secara mendalam ditambah dengan analisa yang cermat detail-detail persoalan aktual sekarang. Dengan kata lain, pendekatan kontekstual harus mendapatkan porsi yang lebih memadai karena kondisi perbudakan masa lampau jauh berbeda dengan sekarang.

Akan tetapi, apakah hal itu memungkinkan, mengingat tidak semua manusia yang beragama Islam dan mempercayai al-Qur’an. Ini memang sebuah kendala, tapi hal itu tidaklah begitu menghalangi peran al-Qur’an dalam menghapuskan perbudakan modern. Jika isi al-Qur’an tidak bisa diterima secara bulat oleh seluruh umat dunia, maka metodologi yang dipakai al-Qur’an tetap dapat dijadikan pedoman dalam menghilangkan perbudakan modern. Artinya, nilai-nilai universal dan substanstif dari setiap langkah penghapusan perbudakan yang dilakukan al-Qur’an dapat diadopsi untuk menyelesaikan perbudakan modern global. Bertolak dari situ, paling tidak ada tiga langkah pokok yang dapat dilakukan untuk menghambat lajunya perbudakan, untuk jangka pendek, dan menghapuskan segala bentuk perbudakan, untuk jangka panjangnya.

Pertama, menutup rapat pintu-pintu perbudakan.
Al-Qur’an meperintahkan kepada umat Islam untuk tidak lagi memperbudak tawanan perang, seperti sebelumnya. Untuk itu, al-Qur’an memberikan dua alternatif pembebasan, yaitu: membebaskan tawanan tanpa tebusan atau membebaskan mereka dengan membayar tebusan (QS. Muhammad [47]: 4). Dari sini dapat dipahami bahwa sejak turunnya ayat di atas umat Islam tidak lagi diperkenankan memperbudak tawanan perang. Dengan kata lain, sejak saat itu masyarakat Islam tidak lagi “memproduksi” budak-budak baru, kecuali ada sebab-sebab lain yang diizinkan oleh syara’. Perbudakan hanyalah alternatif terakhir dari semua kemungkinan yang bisa dilakukan.

Setiap negara perlu menyepakati sebab-sebab bolehnya satu atau beberapa negara menyerang negara lain. Dengan demikian, sebuah negara tidak lagi ditolelir menduduki negara lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan oleh logika dan perasaan. Ini merupakan persoalan yang penting diperhatikan, karena dalam agresi dan pendudukan militer seringkali terjadi tindakan memperbudak dan pelanggaran HAM.

Di samping itu, perbudakan harus didefenisikan secara jelas dan tegas. Penyatuan pengertian ini dapat dijadikan alat ukur untuk menilai suatu tindakan yang beraroma perbudakan. Seiring dengan itu, harus ditetapkan sanksi yang tegas terhadap setiap perbuatan yang dapat dikatakan sebagai memperbudak, baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun suatu negara. Semua itu akan dapat mencegah timbulnya perbudakan lebih lanjut.

Kedua, memperlakukan para “budak” modern secara manusiawi.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa seorang budak berhak mendapatkan perlakuan yang baik (QS. al-Nisâ’ [4]: 36). Mereka membutuhkan perlakuan manusiawi dari orang lain sebagaimana perlakuan baik yang didapatkan oleh Ibu-Bapak, karib kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga, teman dan sebagainya. Dengan adanya ajaran ini, para budak yang hidup dalam masyarakat Islam tidak lagi merasakan perbedaan mendasar dengan orang merdeka. Itulah yang membuat mereka tidak merasa terhina dengan status sebagai budak atau mantan budak.

Bagi seseorang, kelompok orang atau suatu negara yang telah terlanjur “memperbudak” orang lain dan tidak mungkin membebaskannya begitu saja, maka “budak” tersebut harus diperlakukan secara baik dan manusiawi. Mereka harus diperlakukan sebagaimana layaknya seorang manusia. Al-Qur’an telah mencontohkan humanisasi para budak sehingga mereka diberikan hak dan kewajiban yang substansinya tidak berbeda orang-orang merdeka, sekalipun formatnya berbeda.

Tentu saja bagi penganut agama selain Islam atau orang yang tidak mengakui al-Qur’an tidak mau menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman secara mutlak. Alternatifnya, mereka bisa menjadikan agama masing-masing sebagai acuan. Dalam hal-hal yang bersifat global dan universal, semua agama yang ada di dunia tidak mempunyai perbedaan yang mendasar. Semua agama menganjurkan keadilan, berbuat baik dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
Ketiga, “memerdekakan” para “budak” secara bertahap.

Hal ini merupakan prinsip pokok dan sasaran akhir yang dianut oleh al-Qur’an dalam membebaskan budak (QS. al-Balad [90]: 13). Para budak atau mereka yang lehernya dijerat tersebut harus ditolong untuk keluar dari kubangan ketidakmerdekaan. Berhubung hal itu tidak mungkin dilakukan dengan frontal dan sekaligus, maka pelaksanaannya membutuhkan banyak waktu, cara dan metode. Pendayagunaan zakat merupakan salah satu manhaj untuk itu (QS. al-Taubah [9]: 60).

Dalam hal ini seseorang, sekelompok orang, atau suatu negara yang berkuasa terhadap yang lainnya harus mempunyai niat dan keinginan yang kuat untuk membebaskan orang yang dikuasainya. Suatu negara yang menduduki negara lain atau memiliki tawanan perang harus memberikan kebebasan kepada mereka untuk menentukan kehidupan sendiri. Para tawanan tersebut harus dibebaskan, apakah dengan tebusan atau dilepaskan begitu saja.

Bagi majikan yang selama ini berbuat sewenang-wenang terhadap karyawannya, makna “memerdekakan” mereka bukan berarti memberhentikan atau membatalkan kontrak kerja yang ada begitu saja. Membebaskan karyawan dari belanggu “perbudakan” itu berarti memberikan kepada mereka hak dan kewajiban secara berimbang, kebebasan memilih untuk melanjutkan pekerjaan atau berhenti, menyatakan pendapat untuk setuju atau tidak dan sebagainya.

Orang-orang yang selama ini berprofesi sebagai pemburu, calo-calo lokal, germo dan penyalur “tenaga kerja”, harus dengan rela meninggalkan pekerjaan itu secara perlahan. Mereka harus menyadari sepenuhnya bahwa perbuatan itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Masih banyak pekerjaan lain yang lebih terhormat dan menghasilkan banyak uang yang dapat dilakukan untuk melanjutkan kehidupan.

Dengan melihat secara nyata dampak positif dari langkah-langkah yang ditempuh al-Qur’an, dapat dipahami sepenuhnya kenapa al-Qur’an tidak menghapuskan perbudakan secara mendadak dan sekaligus. Telah terbukti bahwa dari langkah gradual yang diambil al-Qur’an dapat menekan resiko sekecil mungkin. Dari sana juga dapat dimaklumi kenapa al-Qur’an tidak mengharamkan perbudakan dengan lafaz yang sharîh sebagaimana terhadap judi, misalnya. Dan dari situ juga bisa dimengerti kenapa al-Qur’an tidak menghapuskan ayat-ayat yang berbicara tentang perbudakan, seolah-olah perbudakan masih ada sampai hari ini. Semua itu merupakan langkah-langkah jenius al-Qur’an yang terkadang tidak bisa diikuti oleh pikiran telanjang manusia.

E. PENUTUP

Sangat penting dicatat bahwa kemajuan yang mengagumkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah garansi terhadap kemampuan manusia menghargai harkatnya sendiri, apalagi orang lain. Manusia modern memang memiliki prestasi gemilang dalam menundukkan alam dan lingkungan, tapi tidak berdaya berhadapan dengan sisi jahat dirinya sendiri. Sekalipun logika menyepakati bahwa segala hak-hak dasar manusia harus dihargai, namun nafsu untuk menginjak-injak orang lain tetap dapat mengalahan hasil olahan akal itu.

Di sengaja atau tidak, ide-ide penegakkan HAM seringkali dilecehkan oleh penganjurnya sendiri. Realitas membuktikan bahwa negara-negara maju, yang katanya lebih beradab, suka menindas negara lain yang tidak berdaya. Manusia-manusia “pintar” memiliki banyak intrik dan kesempatan untuk mengeksloitasi orang lain. Apa yang sering dikatakan sebagai kerjasama, belas kasihan, tolong menolong dan berbagi kesejahteraan adalah perbudakan nyata. Wallâhu a’lam bi al-shawab**

Tidak ada komentar: