Mengakui Kesalahan

MENGAKUI KESALAHAN

Oleh : Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Mengakui kesalahan seringkali dianggap perbuatan bodoh dan menjatuhkan diri sendiri ke dalam kehinaan. Pelakunya dianggap tidak punya harga diri lagi, tidak istiqamah (teguh pendirian), dan tidak memiliki prinsip hidup. Pendapat itu amat keliru. Mengakui kekhilafan, kesalahan, dan dosa serta bertekad tidak akan mengulangi lagi merupakan perbuatan yang sangat mulia. Islam menamakannya dengan taubat, dan Allah sangat menyayangi orang yang benar-benar bertaubat. Dalam al-Qur’an dikatakan, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. al-Baqarah [2]: 222).

Perlu disadari bahwa semua manusia pernah melakukan kesalahan, sampai Nabi sekalipun. Karena lupa, khilaf, dan salah sangat melekat dengan manusia itu sendiri. Maka tidak aneh jika setiap orang pernah berbuat salah. Keanehan itu terjadi jika seseorang terus-menerus berbuat salah. Dan tindakan tidak mau mengakui kesalahan dan berusaha memperbaiki merupakan hal yang paling aneh.

Sebenarnya, mengakui kesalahan merupakan sebuah pintu dari dinding pembatas antara dua ruangan; kebaikan dan keburukan. Jika seseorang tidak mau mengakui salahnya, berarti dia masuk dari pintu itu ke ruangan kajahatan. Sebaliknya, jika seseorang mau mengakui dosanya, berarti dia membuka pintu itu untuk masuk ke ruangan kebaikan. Allah sendiri mengatakan bahwa salah satu karakteristik orang-orang bertaqwa itu adalah mau mengakui kesalahan dan minta ampuh kepada Allah, kemudian dia tidak lagi mengulanginya lagi, “Dan (salah satu dari orang yang bertaqwa itu) adalah orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu”. (QS. Ali Imran [3]: 135).

Kenapa mesti takut mengakui kesalahan dan dosa, padahal di situ terdapat keuntungan yang besar. Jangankan pangadilan Allah Yang Maha Pengampun, pengadilan manusia manapun di dunia ini telah memberi keringanan hukuman kepada seorang terdakwa yang sejujurnya mengaku bersalah. Ibarat orang tersesat dalam berjalan, mengakui kesalahan itu sama dengan kembali ke belakang di mana dia mulai tersesat. Tentu perjalanan orang yang mau kembali jauh lebih mudah daripada orang yang tersesat, tapi terus menelusuri jalan yang menyesatkan itu.
Mengaku bersalah tidak membuat seseorang kehilangan kehormatan, bahkan sebenarnya hal merupakan upaya paling efektif menyelamatkan nama baik. Menyadari dosa dan bertekad tidak akan mengulangi lagi adalah salah satu pintu masuk menjadi manusia terbaik. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi yang umum telah berbuat kejahatan di masa lalu.

Satu hal yang sangat penting disadari, orang yang tidak mau mengakui kejahatannya berarti menjeratkan dirinya pada mata rantai dosa yang tiada berujung. Perbuatan menutupi kesalahan pasti akan diikuti dengan usaha menghilang barang bukti, dengan cara apapun. Bisa jadi hal itu dilakukan dengan berdusta, memfitnah, menyuap, mentoror, bahkan membunuh sekalipun. Jika usaha menghilangkan bukti ini membuahkan bukti baru, misalnya diketahui orang lain, maka bukti baru itu juga harus dilenyapkan. Begitulah seterusnya. Tak dapat dibayangkan berapa banyak dosa turunan yang harus dikerjakan.

Orang bersalah akan terus diburu kesalahannya. Hanya taubat yang membuat semua itu berakhir. Bagi pelaku dosa, dunia menjadi semakin sempit dan tidak ada tempat yang nyaman. Memang tidak enak hidup dalam kurungan yang dibikin sendiri. Wallahu a’lam bis shawab.

Sumber : Hikmah Republika

Tidak ada komentar: