Membagi Kesempatan

MEMBAGI KESEMPATAN

Oleh : Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

“Menolong orang lain”, sebuah ungkapan yang sangat mudah dan sering diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Tanpa butuh waktu banyak untuk sepakat ketika membicarakan, tapi sering tidak satu langkah dalam melaksanakannya. Saat ini, orang lebih suka minta tolong, dalam soal apa saja, daripada menolong, sekalipun sebenarnya dia sudah seharusnya menolong. Itulah sebabnya budaya mengemis sangat mewabah di mana-mana, dari seorang pembesar sampai rakyat kecil.

Berbagi kesempatan, merupakan satu pertolongan yang sangat didambakan banyak orang. Allah sangat benci pada orang yang memakan sendiri segala jenis nikmatNya, tanpa membagi pada orang lain. Sekelompok sahabat pernah ditegur langsung oleh Allah karena mereka tidak mau memberi tempat duduk, di suatu pertemuan dengan Nabi, kepada sahabat lain yang baru datang. Walaupun Nabi telah menyuruh berdiri, mereka tetap tidak mau. Atas kejadian tersebut turunlah ayat :

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah. Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).

Menolong tidak membuat seseorang menjadi miskin. Memberikan orang lain kesempatan tidak sama dengan kehilangan barang yang sangat berharga. Hanya orang yang tidak punya imajinasi saja yang berpendapat begitu. Tidak ada yang miskin dengan menolong. Dan, seringkali terbuka peluang baru yang lebih baik setelah seseorang berbagi peluang yang ada dengan orang lain.

Orang yang tidak mau melepas kesempatan pada orang lain akan kesulitan menjangkau kesempatan yang ada di luar dirinya. Tangannya akan sulit menggapai kesempatan baru karena pada saat yang sama tangan itu harus dipakai memikul, menggendong, dan mengawasi yang telah ada. Secara kodrati, manusia tidak hanya butuh makan, tapi juga perlu buang air.

Allah tidak bohong ketika Dia katakan “Jika engkau syukuri nikmatKu, Aku akan menambahnya. Tapi, jika engkau ingkari, Aku akan menghukummu dengan azab yang pedih” (QS. Ibrahim [14]: 7). Ayat ini dapat dipahami sebagai isyarat bahwa pintu nikmat akan dibuka, dan dibuka lagi, jika seseorang mensyukuri nikmat yang telah ada, menggunakan sebaik-baiknya untuk diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya, jika dia makan sendiri dan tidak menggunakan sesuai ketentuanNya, substansi nikmat itu akan terbang dan meninggalkan kepiluan mendalam bagi yang ditinggal.

Sebagai bangsa yang sedang payah, sangat menyakitkan bila kita coba berdiri di depan cermin. Banyak fenomena kepiluan yang kelihatan di tubuh kita yang semakin kurus dan menghitam. Seringkali terlihat monopoli sumber-sumber kehidupan secara sangat rakus. Malah ada yang berprinsip, daripada kesempatan berusaha dan hidup layak dibagi pada orang lain, lebih baik peluang itu dibiarkan tidak produktif dan terlantar. Masih banyak yang membuang uang dengan membeli barang-barang mewah hanya untuk digudangkan, tanpa mau memberikan sedikit kelapangan pada orang tak punya. Mungkin sangat perlu direnungkan kembali kata orang bijak, “Kemenangan baru terasa sempurna setelah disalami oleh yang kalah, orang berharta baru merasa kaya setelah merayakannya bersama kaum papa”. Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber: Hikmah Republika

Tidak ada komentar: