Keadilan


KEADILAN VERSI ISLAM


Oleh: Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Keadilan merupakan salah satu kebutuhan terdepan rakyat Indonesia saat ini. Sudah banyak demonstrasi yang dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan ini. Para wakil korban lumpur Lapindo, misalnya, rela datang dari jauh ke Jakarta dengan modal seadanya untuk menemui Presiden guna menuntut keadilan terhadap “kezaliman” yang mereka alami. Begitu juga dengan banyak teriakan-teriakan lantang lainnya. Semuanya berujung pada tuntutan “berikan kami keadilan”.

Keadilan memang “makanan” utama yang amat dibutuhkan setiap manusia karena dia dapat membuka jalan selebar-lebarnya menuju kebenaran, kebaikan, keindahan dan kebahagiaan hidup. Penegakan keadilan akan membuahkan masa depan cemerlang. Itulah sebabnya al-Qur’an, dalam banyak kesempatan, membimbing dan memerintahkan agar setiap Muslim memperjuangkannya.

Perspektif Islam

Islam sangat objektif dan rasional dalam penegakan keadilan. Seseorang tidak ditolelir untuk mendiamkan pelanggaran apapun dari orang yang dicintainya atau mengganjar orang yang dibencinya di luar kepantasan. Penegakan keadilan mesti benar-benar adil, sekalipun terhadap diri sendiri, ibu bapak dan kaum kerabat. Bahkan, keadilan harus ditegakkan terhadap orang kaya dan miskin. Keadilan Islam tidak berkompromi dengan segala prestise dan status sosial. Al-Qur’an sangat mewanti-wanti poin ini, karena seringkali kekayaan seseorang membuat penegak hukum tidak berkutik menindaknya, atau kemiskinan dan kesengsaraan seseorang tidak jarang membangkitkan rasa kasihan dan tidak tega menghukumnya.

Penegakan keadilan perspektif Islam memiliki dasar pijak, standar nilai dan tujuan sangat jelas. Al-Qur’an mengungkapkannya dalam redaksi qawwâmîna lil-Lâh (orang-orang yang menegakkan keadilan karena Allah). Upaya penegakan keadilan harus diawali karena ketundukan dan keinginan tulus untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah. Tidak boleh ada nilai-nilai lain yang digunakan sebagai standar kecuali ajaran Allah atau nilai masyarakat yang sejalan dengan kehendak-Nya.

Poin paling esensial, keadilan ditegakkan bukanlah untuk memuliakan sebagian orang atau menghinakan yang lain, tapi semata-mata untuk “memuaskan” Allah. Seluruh aktivitas penegakan keadilan harus mengarah secara jelas pada penegakan “kehendak” Allah, Tuhan yang sangat menyayangi manusia dan menginginkan yang terbaik bagi hamba-Nya. Jika Allah “puas” dengan penegakan keadilan yang dilakukan, berarti segala dahaya keadilan manusia telah terpuaskan secara maksimal.

Karena itu, Kehormatan suatu bangsa sangat berkaitan erat dengan penegakan keadilan semacam ini. Jika keadilan tidak ditegakkan dan kebenaran dimanipulasi, maka kehancuran hanya menunggu waktu. Ketika keadilan ditelantarkan, berarti saat itu sedang berlangsung penghancuran martabat, perampasan hak-hak asasi serta pembunuhan potensi, inovasi, dan kreativitas manusia. Ketidakadilan memastikan rusaknya jaringan sosial, tersebarnya rasa takut, tertutupnya peluang bekerja dan berusaha secara merata yang akhirnya sampai di mulut kehancuran.

Tanpa Sekat

Di zaman Umar bin Khathab pernah terjadi kasus ketidakadilan yang melibatkan Muhammad bin Amr bin Ash, putra Gubernur Mesir, yang mengikuti pacuan kuda bersama seorang warga Mesir etnis Kristen Koptik. Dalam perlombaan tersebut, putra Gubernur memukul punggung pemuda Kristen karena berhasil mengunggulinya sambil mengatakan ''Khuz hâ. Wa ana ibnu 'l-akramîn.'' (Rasakan! Saya anak orang berpangkat). Ketika pemuda Kristen mengadu kepada Umar, beliau segera memanggil gubernur Mesir dan anaknya. Sang Khalifah mempersilah pemuda Kristen untuk membalas pukulan putra gubernur. Setelah melakukannya, Umar juga menyuruh pemuda itu memukul Amr bin Ash, karena kekurangajaran anak Gubernur terjadi karena jabatan ayahnya. Tapi pemuda Kristen itu menolak karena sudah merasa cukup mendapatkan keadilan.

Lebih awal lagi, Aisyah pernah menuturkan prihal pencurian yang dilakukan seorang perempuan terpandang dari kalangan Quraisy. Untuk menjaga nama baik, kerabat wanita itu meminta Usamah bin Zaid, salah seorang sahabat tersayang Rasulullah, memintakan dispensasi hukuman atau kompensasi lain kepada Nabi. Beliau menjawab, “Apakah engkau meminta dispensasi hukuman Allah? Sesungguhnya kehancuran kaum sebelumnya karena persoalan ini. Ketika orang terpandang mencuri, mereka membiarkan saja. Tetapi apabila orang lemah yang mencuri, mereka menghukumnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, saya pasti akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Turmudzi).

Memang sangat indah keadilan yang diinginkan Islam, sebuah keadilan yang tidak mengenal pangkat dan jabatan, etnis, keturunan, agama dan semua tembok lainnya. Keadilan ini masih sangat jauh dari “keadilan” yang terpampang di hadapan kita hari ini, di mana hanya pejabat dan orang berkantung tebal saja yang merasakannya. Karena itu, setiap Muslim harus berjihad secara bijak untuk mewujudkannya.

Tidak ada komentar: