Bisnis Pendidikan


MERETAS JERAT BISNIS PENDIDIKAN


Oleh : DR. Zulheldi Hamzah, M.Ag.


Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia. Ilmu dapat mengangkat derajat manusia ke tempat lebih tinggi dan mulia dibanding makhluk Allah yang lainnya. Itulah salah satu rahasia kenapa perintah membawa (iqra’), ujung tombak berburu ilmu, mengawali turunlah seluruh ajaran Islam. Dengan keunggulan ilmu itu juga nabi Adam dapat melumat segala rasa senioritas negatif yang dimiliki para malaikat sehingga mereka respek kepadanya (QS. 2:31-33).


Ilmu yang merupakan kilauan kognitif, afektif dan psikomotorik sangat dibutuhkan manusia dalam hidup. Pengetahuan dapat membuat dimensi manusia menggelembung tak terbatas menembus sekat ruang dan waktu. Kecakapan bersikap menjadikan manusia sebagai makhluk moralis dan santun sehingga mendatangkan rasa aman-damai bagi seluruh makhluk di sekitarnya. Sementara keterampilan dapat mengubah manusia menjadi penakluk dan pemenang terhadap segala tantangan zamannya. Di saat ketiga aspek ini tidak dihidangkan secara seimbang kepada setiap manusia, di situlah awal terjadinya tragedi kemanusiaan.



Bisnis Pendidikan
Belum lama ini, menyikapi pemilihan rektor Universitas Indonesia (UI), mahasiswa menyerukan agar rektor terpilih tidak mengkomersialkan pendidikan. Menurut mereka, pendidikan dan UI merupakan milik semua rakyat, bukan kaum berduit saja. Teriakan ini bukan tanpa alasan. Banyak dari mereka sedang menjerit dihimpit beratnya beban biaya pendidikan. Mereka juga melihat bahwa tingginya biaya masuk akan semakin melemahkan posisi calon mahasiswa kaya potensi-prestasi, tapi miskin finansial, untuk menerobos gerbang UI.


Saat ini, pendidikan sudah menjelma menjadi komoditas yang bernilai jual menjanjikan. Sekolah dan perguruan tinggi telah menjadi semacam badan usaha yang merasa berhak “menjual” jasa pendidikan kepada rakyat sesuai mekanisme pasar. Semakin tinggi permintaan, semakin tinggi pula posisi tawarnya. Pusat-pusat pendidikan favorit semakin tak terdatangi oleh rakyat kebanyakan.


Mungkin realitas di atas masih bisa dimaklumi jika pelakunya hanya lembaga swasta. Tapi, sungguh sulit diterima ketika bisnis pendidikan juga dilakoni lembaga pendidikan pemerintah. Sistem pendidikan mulai menjadikan sekolah sebagai coorporate education yang kental nuansa bisnisnya. Lembaga-lembaga pendidikan pemerintah sedang berbenah menuju sebuah perusahaan bisnis yang siap memburu pemasukan sebanyak-banyaknya untuk “biaya operasional” dan meraup keuntungan.


Sekularisasi kurikulum yang mengiringi hajat di atas telah mempercepat peluncuran pendidikan Indonesia ke arah kekeringan spiritual. Berdalih menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar (lapangan kerja), konsep pendidikan lebih menekankan bagaimana peserta didik menjadi pintar, sukses berbisnis, kompeten dalam teknologi dan bisa mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang banyak. Aspek psikomotorik (keterampilan dan kecakapan kerja) menjadi primadona materi pendidikan karena output-nya telah di-setting sedemikian rupa menjadi sekrup-baut mesin industri modern.


Dibanding kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap dan moral) tertinggal sangat jauh, jika malu mengatakannya dilupakan sama sekali. Pendidikan agama dan moral makin dikebiri dan ditindih habis-habisan oleh pelajaran keterampilan. Materi agama hanya dihadirkan sebagai pelangkap daftar pelajaran. Akibatnya, telinga kita semakin akrab dengan berita tentang keterlibatan pelajar atau mahasiswa dengan tawuran, narkoba, seks bebas, kriminalitas, bunuh diri dan sebagainya.


Back to Basic
Gerak maju pendidikan seseorang seyokyanya seayun dengan kedekatan dan ketakutannya pada Allah (QS. 35:28). Jangan dikira bahwa Allah hanya dapat didekati dengan mendalami materi pelajaran yang berlabel agama (Islam). Allah bisa “ditemukan” dalam semua pelajaran. Dia mempunyai banyak ayat (tanda kebesaran dan kekuasaan) di alam ini. Seorang yang mendalami ilmu fiqih tidak otomatis lebih takwa kepada Allah dibanding dengan yang mendalami biologi, fisika, bahasa dan lainnya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan seorang dokter lebih mampu “melihat” Allah dibandingkan dengan ahli tafsir.


Sejatinya, pendidikan mengangkat derajat seorang manusia ke tempat yang lebih tinggi (QS. 58:11). Pengetahuan, sikap moral dan keterampilan merupakan sayap sempurna yang dapat menerbangkan pemiliknya ke tempat terhormat. Ketiganya harus seimbang, karena masing-masing memiliki peran signifikan dan tidak tergantikan.


Tidak selayaknya orang tua menyerahkan anaknya belajar hanya untuk mendapat limpahan materi. Sangat tidak terpuji jika masih ada guru, apalagi profesor, terlibat berbagai kecurangan dan penipuan. Pengelola pendidikan, apalagi pemerintah, amat “diharamkan” memandang pendidikan sebagai objek bisnis semata, karena ada dimensi lain yang lebih menggiurkan dari sekadar tumpukan rupiah. Satu hal yang pasti, mereka yang terjun dari puncak gunung pendidikan tanpa dilengkapi sayap-sayap yang sempurna hanya akan terjatuh mengenaskan sebelum sampai pada tujuannya.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Comments are good for you, we also have accurate web and has a lot of adequate quality look at the following website:
News Information metlife auto
News Information list of telenovelas videos

Unknown mengatakan...

thanks your information
Indien Change Allmähliche Südkorea als GM Produktionszentrum