Moral Bangsa


MENGAWAL MORAL BANGSA


Oleh : DR. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rabu (25/7), menyatakan keberatan dan penolakan terhadap draf RUU Perfilman yang diajukan Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Poin utama penolakan ini adalah ditiadakannya sensor terhadap film-film produksi dalam dan luar negeri sebelum diedarkan pada masyarakat. Yang ada hanya pembatasan usia penonton. Menurut Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin, konsekuensi disahkannya RUU tersebut adalah liberalisasi film di Indonesia dan peredaran film-film tanpa sensor itu sangat berbahaya bagi masyarakat. MUI juga meminta pemerintah memperkuat lembaga negara independen dalam penyiaran dan perfilman seperti Lembaga Sensor Film (LSF) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Sepintas, adanya Lembaga Sensor Film (LSF) memang terkesan “mengebiri” kreatifitas dan produktifitas film Indonesia. Film Buruan Cium Gue, Kuldesak dan Pembalasan Ratu Laut Selatan merupakan contoh film yang digunting-gunting lembaga ini. Film-film tersebut dikategorikan tidak layak edar karena dianggap akan berdampak negatif terhadap moral bangsa. Tapi, salahkah LSF atau KPI mengawal moral bangsa ini dengan membuang adegan dan dialog “panas” sebelum sebuah tayangan dihidangkan pada masyarakat? Apakah bebas berkreasi bisa dikatakan hak asasi insan film jika kebebasan tersebut mencelakakan banyak orang?

Kejujuran Sosial
Sebagaimana masyarakat banyak, pengusung draf RUU Perfilman sebenarnya menyadari bahwa bebasnya peredaran film-film lokal dan impor tanpa sensor di masyarakat adalah bahaya besar. Bahaya itulah, menurut draf di atas, yang akan diantisipasi dengan membatasi penonton berdasarkan usianya. Persoalannya, adakah jaminan bahwa aturan pembatasan usia penonton tersebut dapat efektif dan akan ditegakkan sebaik-baiknya?

Pengaturan semacam ini telah diberlakukan di beberapa negara maju seperti Inggris, Jerman, Italia dan Amerika Serikat (AS) dalam konteks pornografi dan pornoaksi. Di AS, misalnya, setiap pengunjung kelab malam diperiksa ID Card/KTP-nya, apakah cukup umur atau belum. Pornografi di media elektronik dan media cetak juga diatur secara ketat. Majalah Playboy tidak bisa didapatkan anak-anak di bawah umur. Film yang berbau pornografi dan pornoaksi di televisi ditayangkan tengah malam. Walau demikian ketat, tetap saja negara-negara tersebut meluncur ke arah revolusi seksual hewani.

Bisakah Indonesia menerapkan aturan pengetatan seperti itu? Secara teori, mungkin pertanyaan ini tidak perlu diajukan karena jawabnya pasti bisa. Tetapi pengalaman membuktikan bahwa kita sering, kalau tidak bisa dikatakan selalu, kebobolan dalam menerapkan pengetatan semacam ini. Banyak aturan hukum yang dapat disiasati, bahkan dengan trik sederhana sekalipun. Seringkali hamba hukum Indonesia ngiler dengan kibasan rupiah. Alhasil, pengajuan syarat-syarat seperti itu seolah-olah hanya alat semata untuk meluluskan sebuah keinginan.

Selanjutnya, mestinya kita jujur terhadap segala realitas yang terpampang jelas di depat mata. Di sekitar kita telah bergelimpangan para korban liberalisasi pornografi dan pornoaksi, padahal mereka mesti menjalani kehidupan yang masih panjang. Jangan dikatakan tidak ada aturan hukum yang memadai untuk mengatasi masalah ini. Kenyataannya? VCD dan DVD porno dijual bebas dan begitu mudah didapat. Akses sejenis juga mudah didapatkan melalui buku komik, internet dan ponsel. Adegan mesum, dalam berbagai kemasan, bergentayangan di televisi pada jam menonton anak dan remaja. Bahkan, para penganjur pergaulan bebas telah mulai menggunakan anak Sekolah Dasar untuk menyajikan “pelajaran” berpacaran dengan segala perniknya di televisi.

Kreatifitas Sehat
Sudah waktunya membuang pikiran bahwa solusi problem perfilman Indonesia adalah liberalisasi film atau kreatifitas tanpa batas atas nama seni. Salah besar jika hanya film yang menjual sensualitas, kesadisan, tahyul dan nyeleneh saja yang sukses di pasaran. Banyak sekali karya etis dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan yang mendatangkan popularitas tanpa batas dan keuntungan material.

Memang perbuatan asusila sangat dikecam dan dipandang rendah. Tetapi, setiap pemikiran dan perbuatan yang dapat melahirkan aksi kebinatangan tidak kalah hinanya. Kecaman terhadap motivator kemaksiatan dan kriminalitas tidak boleh lebih lunak dari hardikan terhadap pelakunya. Agama Islam malahan mengganjar para penyulut kemungkaran, di samping dosa dari pekerjaannya, juga harus menanggung dosa setiap orang yang termotivasi oleh perbuatannya.

Satu keniscayaan, menjaga kualitas moral bangsa tidak hanya kewajiban dan kebutuhan orang yang peduli, tapi setiap orang, termasuk mereka yang menelantarkannya. Sangat mungkin orang yang tidak peduli dengan kualitas moral masyarakat, akan dilingkari orang-orang tidak bermoral yang setiap saat siap menggerogoti kehidupannya. Ini memang pekerjaan yang tidak ringan, tapi setiap kita harus berjihad menegakkannya.

Tidak ada komentar: