Dakwah dengan Cinta


Oleh : Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Islam adalah agama tauhid yang membawa kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan hidup dunia dan akhirat. Islam dianut, tumbuh dan menjadi besar bukan dengan paksaan dan kekerasan politik, melainkan dengan dakwah yang damai, bijaksana dan santun. Namun, belakangan ini citra Islam sebagai agama santun tercoreng karena ulah segelintir orang yang tak sabar, frustasi dan memilih jalan kekerasan dalam ber-nahi munkar.

Globalisasi dan kemajuan dunia modern telah mempertemukan banyak manusia dengan berbagai kepentingan, ideologi, etnis dan politik. Ini merupakan wilayah dan tantangan dakwah Islam yang tak dapat dihindari. Tentu saja tantangan ini harus direspon dengan dakwah yang bijaksana, simpati, santun dan teladan yang baik. Jika Islam disebarkan dengan caci maki, permusuhan dan paksaan, maka Islam akan kehilangan rahmatnya.

Etika Nahi Munkar

Kata “dakwah” diambil dari da'a-yad’u (memanggil, menyeru, mengajak, berdoa). Secara umum, kata ini diartikan dengan panggilan, seruan atau ajakan untuk menyeru manusia mengakui kebesaran Allah serta perlunya hidup berlandaskan peraturan yang ditetapkan berlandaskan Quran dan Sunnah. Syeikh Ali Makhfuz mengartikan dakwah dengan mendorong manusia agar berbuat baik dan mengikuti petunjuk, menyeru berbuat kebajikan dan melarang perbuatan munkar agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an menjelaskan bahwa substansi dakwah adalah amar ma’rûf nahi munkar. Dakwah merupakan upaya maksimal agar manusia mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhkan diri dari yang dilarang-Nya.

Imam Ghazali menjelaskan tingkatan dalam nahi munkar. Pertama, memberi penjelasan, sebab adakalanya seseorang melakukan kemunkaran karena tidak tahu. Setelah diberitahu, mungkin ia akan meninggalkannya. Kedua, melarang berbuat kemunkaran dengan memberi nasehat yang baik dan menakut-nakuti akan siksa Allah. Ketiga, melarang dengan tegas tetapi tetap menghindari kata-kata kasar (tidak sopan). Keempat, menggunakan kekuasaan. Dalam tahap ini, Ghazali melegalkan melakukan tindakan fisik, tetapi harus dilakukan oleh aparat negara. Semua kegiatan pemusnahan fasilitas kemunkaran juga harus berdasarkan pertimbangan hukum yang diputuskan oleh aparat berwenang. Karena itu, eksekusi semacam ini yang dilakukan sekelompok orang, brigade, laskar dan sebagainya yang tidak berwenang adalah sebuah kesalahan.

Oleh sebab itu, Ghazali memberikan batasan kesopanan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang melakukan nahi munkar. Pertama, berilmu. Ia mengetahui hal-hal yang harus diperjuangkan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Kedua, ikhlas. Orang yang melakukannya hanya semata-mata untuk agama dan memperoleh keridaan Allah. Ketiga, berbudi baik sehingga bisa bersikap sopan, lemah lembut dan ramah kepada siapa pun, terutama orang yang hendak diinsafkan.

Rasul Mencintai “Umatnya”

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di sebuah sudut pasar kota Madinah selalu mangkal seorang pengemis Yahudi yang buta. Setiap ada yang mendekatinya, ia selalu berkata "Wahai saudaraku, jangan engkau dekati Muhammad yang mengaku sebagai Rasul itu. Dia gila, pembohong dan tukang sihir. Jika kamu mendekatinya, dia akan mempengaruhimu". Walau begitu busuk hati dan perbuatan pengemis itu, setiap pagi Rasulullah membawakannya makanan. Tanpa berkata, beliau menyuapi pengemis itu. Rasulullah melakukan hal itu hingga wafat. Setelah itu, tidak ada lagi orang yang melakukan hal itu.

Ketika Abu Bakar berkunjung ke rumah Aisyah, beliau bertanya, "Wahai anakku, adakah sunnah Rasul yang belum aku kerjakan?" Aisyah menjawab, "Ayah seorang ahli sunnah yang hampir semua Rasul ayah lakukan, kecuali satu hal, di mana setiap pagi Rasul pergi membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta di pasar itu", kata Aisyah. Keesokannya Abu Bakar mendatangi dan memberikan makanan kepada pengemis itu. Ketika mulai menyuapi, pengemis marah, "Siapa kamu?" Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa”. "Engkau bukan orang yang biasa. Dengan orang itu, tanganku tidak susah memegang dan mulutku tidak susah mengunyah. Orang itu selalu menghaluskan makanan sebelum menyuapkannya kepadaku”, kata pengemis.

Abu Bakar tak kuas menahan air mata dan berkata, “Aku memang bukan orang yang biasa datang. Orang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah”. Setelah mendengar cerita Abu Bakar, pengemis menangis dan berkata, “Benarkah? Selama ini aku selalu menghina dan memfitnahnya, tapi ia tidak pernah marah. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ia begitu mulia”. Pengemis Yahudi itu akhirnya masuk Islam.

Itulah salah satu bentuk keindahan dan keagungan dakwah Rasul. Beliau membalas kebencian dan cercaan dengan dakwah nyata yang didasari cinta dan kasih sayang. Akhirnya, kebekuan hati seorang kafir menjadi lunak karena terus disiram air cinta. Ini sebuah teladan yang sangat dibutuhkan saat ini, ketika Islam seringkali dilekatkan dengan kekerasan dan sadisme. Inilah salah bentuk jihad untuk menghadapi orang kafir yang tidak kalah beratnya dengan perjuangan bersenjata.

Tidak ada komentar: