Keadilan


KEADILAN VERSI ISLAM


Oleh: Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Keadilan merupakan salah satu kebutuhan terdepan rakyat Indonesia saat ini. Sudah banyak demonstrasi yang dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan ini. Para wakil korban lumpur Lapindo, misalnya, rela datang dari jauh ke Jakarta dengan modal seadanya untuk menemui Presiden guna menuntut keadilan terhadap “kezaliman” yang mereka alami. Begitu juga dengan banyak teriakan-teriakan lantang lainnya. Semuanya berujung pada tuntutan “berikan kami keadilan”.

Keadilan memang “makanan” utama yang amat dibutuhkan setiap manusia karena dia dapat membuka jalan selebar-lebarnya menuju kebenaran, kebaikan, keindahan dan kebahagiaan hidup. Penegakan keadilan akan membuahkan masa depan cemerlang. Itulah sebabnya al-Qur’an, dalam banyak kesempatan, membimbing dan memerintahkan agar setiap Muslim memperjuangkannya.

Perspektif Islam

Islam sangat objektif dan rasional dalam penegakan keadilan. Seseorang tidak ditolelir untuk mendiamkan pelanggaran apapun dari orang yang dicintainya atau mengganjar orang yang dibencinya di luar kepantasan. Penegakan keadilan mesti benar-benar adil, sekalipun terhadap diri sendiri, ibu bapak dan kaum kerabat. Bahkan, keadilan harus ditegakkan terhadap orang kaya dan miskin. Keadilan Islam tidak berkompromi dengan segala prestise dan status sosial. Al-Qur’an sangat mewanti-wanti poin ini, karena seringkali kekayaan seseorang membuat penegak hukum tidak berkutik menindaknya, atau kemiskinan dan kesengsaraan seseorang tidak jarang membangkitkan rasa kasihan dan tidak tega menghukumnya.

Penegakan keadilan perspektif Islam memiliki dasar pijak, standar nilai dan tujuan sangat jelas. Al-Qur’an mengungkapkannya dalam redaksi qawwâmîna lil-Lâh (orang-orang yang menegakkan keadilan karena Allah). Upaya penegakan keadilan harus diawali karena ketundukan dan keinginan tulus untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah. Tidak boleh ada nilai-nilai lain yang digunakan sebagai standar kecuali ajaran Allah atau nilai masyarakat yang sejalan dengan kehendak-Nya.

Poin paling esensial, keadilan ditegakkan bukanlah untuk memuliakan sebagian orang atau menghinakan yang lain, tapi semata-mata untuk “memuaskan” Allah. Seluruh aktivitas penegakan keadilan harus mengarah secara jelas pada penegakan “kehendak” Allah, Tuhan yang sangat menyayangi manusia dan menginginkan yang terbaik bagi hamba-Nya. Jika Allah “puas” dengan penegakan keadilan yang dilakukan, berarti segala dahaya keadilan manusia telah terpuaskan secara maksimal.

Karena itu, Kehormatan suatu bangsa sangat berkaitan erat dengan penegakan keadilan semacam ini. Jika keadilan tidak ditegakkan dan kebenaran dimanipulasi, maka kehancuran hanya menunggu waktu. Ketika keadilan ditelantarkan, berarti saat itu sedang berlangsung penghancuran martabat, perampasan hak-hak asasi serta pembunuhan potensi, inovasi, dan kreativitas manusia. Ketidakadilan memastikan rusaknya jaringan sosial, tersebarnya rasa takut, tertutupnya peluang bekerja dan berusaha secara merata yang akhirnya sampai di mulut kehancuran.

Tanpa Sekat

Di zaman Umar bin Khathab pernah terjadi kasus ketidakadilan yang melibatkan Muhammad bin Amr bin Ash, putra Gubernur Mesir, yang mengikuti pacuan kuda bersama seorang warga Mesir etnis Kristen Koptik. Dalam perlombaan tersebut, putra Gubernur memukul punggung pemuda Kristen karena berhasil mengunggulinya sambil mengatakan ''Khuz hâ. Wa ana ibnu 'l-akramîn.'' (Rasakan! Saya anak orang berpangkat). Ketika pemuda Kristen mengadu kepada Umar, beliau segera memanggil gubernur Mesir dan anaknya. Sang Khalifah mempersilah pemuda Kristen untuk membalas pukulan putra gubernur. Setelah melakukannya, Umar juga menyuruh pemuda itu memukul Amr bin Ash, karena kekurangajaran anak Gubernur terjadi karena jabatan ayahnya. Tapi pemuda Kristen itu menolak karena sudah merasa cukup mendapatkan keadilan.

Lebih awal lagi, Aisyah pernah menuturkan prihal pencurian yang dilakukan seorang perempuan terpandang dari kalangan Quraisy. Untuk menjaga nama baik, kerabat wanita itu meminta Usamah bin Zaid, salah seorang sahabat tersayang Rasulullah, memintakan dispensasi hukuman atau kompensasi lain kepada Nabi. Beliau menjawab, “Apakah engkau meminta dispensasi hukuman Allah? Sesungguhnya kehancuran kaum sebelumnya karena persoalan ini. Ketika orang terpandang mencuri, mereka membiarkan saja. Tetapi apabila orang lemah yang mencuri, mereka menghukumnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, saya pasti akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Turmudzi).

Memang sangat indah keadilan yang diinginkan Islam, sebuah keadilan yang tidak mengenal pangkat dan jabatan, etnis, keturunan, agama dan semua tembok lainnya. Keadilan ini masih sangat jauh dari “keadilan” yang terpampang di hadapan kita hari ini, di mana hanya pejabat dan orang berkantung tebal saja yang merasakannya. Karena itu, setiap Muslim harus berjihad secara bijak untuk mewujudkannya.

Perbudakan Modern



PERBUDAKAN MODERN: MITOS ATAU REALITAS ?

Oleh: Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Perbudakan bukanlah murni masalah masa lalu yang telah disimpan rapi di museum sejarah. Fenomena ini muncul hampir di setiap episode kehidupan manusia tanpa mengecualikan hari ini. Mungkin inilah rahasia tidak adanya keterangan meyakinkan bahwa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang mengupas konsep perbudakan telah dihapuskan (mansûkh). Paling tidak ada dua kemungkinan penyebab kesimpulan yang mengatakan bahwa perbudakan telah terkikis di alam modern. Pertama, tidak dipahaminya dengan benar substansi perbudakan klasik sehingga terjadi kesulitan untuk melakukan qiyâs dalam menatap fenomena modern; Kedua, adanya kesengajaan memutus terminologi perbudakan karena prilaku terkutuk itu “tidak mungkin” dilakukan manusia modern yang “lebih beradab”.

A. PENDAHULUAN

Perbudakan, oleh sementara kalangan, dianggap sebagai terminologi klasik yang sudah memfosil. Kajian terhadap konsep ini dan literatur terkait diartikan sebagai pemasungan diri dan kualitas intelektual pada realitas masa lalu yang telah kehilangan kontekstualisasinya di masa kini. Pasalnya, secara “resmi”, perbudakan di Eropa telah dihapuskan dengan digulirkannya Revolusi Perancis dan di Amerika dengan dekrit Presiden Abraham Lincoln.

Betulkan perbudakan telah lenyap dari muka bumi? Benarkah bahwa tidak ada lagi manusia di dunia ini yang pantas dikatakan sebagai budak? Sebuah pertanyaan dan persoalan mendasar yang sangat menggelitik untuk dikaji serius, serta sebuah tesis yang harus dibuktikan. Namun, sesuatu yang pasti bahwa tidak cukup jari tangan dan kaki seorang manusia untuk menghitung jumlah ayat-ayat al-Qur’an yang membahas persoalan perbudakan. Begitu juga halnya dengan hadis-hadis Nabi SAW. Seiring dengan itu, tidak satupun keterangan dan pendapat meyakinkan yang ditemui bahwa setumpuk argumen naqli itu telah dihapuskan (mansûkh).

B. PEMAKNAAN ISTILAH

Dalam bahasa Indonesia, budak berarti anak, kanak-kanak; abdi, hamba; dan orang gajian (Tim Penyusun Kamus, 1996: 149). Bahasa Inggris memiliki dua istilah yang sering diartikan sebagai budak, yaitu servant dan slave. Servant berarti pelayan, pembantu; orang yang mengabdi pada seseorang atau sesuatu (Peter Salim, 1993: 766). Lebih lengkapnya, A.S. Hornby mengartikan dengan person who works in household for wages, food and lodging (seseorang yang bekerja pada rumah tangga untuk mendapatkan gaji, makanan dan tempat tinggal) (A.S. Hornby, 1987: 778). Dari sinilah lahirnya istilah civil cervant, yang diartikan dengan pegawai negeri.

Kata slave berarti budak, pekerja keras, atau orang yang dipengaruhi oleh kebiasaan (Peter Salim, 1993: 793). Dalam makna yang lebih lengkap dikatakan oleh Hornby dengan person who is the property of the another and bound to serve him (seseorang yang dimiliki oleh orang lain dan dia harus siap untuk melayaninya) (A.S. Hornby, 1987: 807). Agaknya makna dari kata slave lebih mendekati pada pengertian budak secara umum dibandingkan dengan servant. Itulah sebabnya dalam bahasa Inggris perbudakan disebut dengan slavery.

Menurut Hamka budak berarti seseorang yang tidak merdeka. Dia menjadi milik tuannya sebagaimana sebuah barang. Budak boleh dijual, dihadiahkan atau dijadikan sebagai istri (jika wanita). Anak hasil hubungan seorang tuan dengan budaknya adalah sah (Hamka 7, 1994: 10). Secara hukum, budak merupakan setengah manusia (merdeka). Di satu sisi dia merupakan manusia yang normal dan di sisi lain dia adalah harta atau benda yang sepenuhnya dimiliki oleh tuannya. Budak tidak bisa berbuat sesuatu sesuai dengan keinginannya. Dia harus berpikir dan berbuat sesuai dan untuk kepentingan tuannya. (Muhammad Abdul Mujieb, 1995: 1-2).

Al-Qur’an menggunakan lima istilah kunci ketika membicarakan persoalan budak, yaitu ‘abd (‘Ibâd), mâ malakat aymân; raqabah (riqâb), amah (imâ’), dan fatayât. Kata ‘abd (hamba/budak laki-laki) dan amah (hamba/budak perempuan), dalam masyarakat Arab, memiliki konotasi yang sangat negatif dan menghina. Orang yang disebut dengan ‘abd atau amah telah kehilangan kemanusiaannya karena dirinya dimiliki sepenuhnya oleh orang lain. Itulah sebabnya Rasul melarang umat Islam memanggil budak dengan kedua istilah itu dan menggantinya dengan mâ malakat aymân (yang dimiliki oleh tangan kanan), fatâ/fatât/fatayâh (pemuda/pemudi) (Muhammad bin Ismail al-Bukhâriy 2, 1997: 768).

Al-Qur’an menggunakan kedua istilah ini, di samping dalam konteks “pengakuan” terhadap realitas dan nasib budak masa itu, juga untuk memperbaiki image dan makna keduanya serta mengangkat orang yang dikenakannya. Hal itu terlihat jelas pada penggunaannya, di samping untuk budak, Allah juga menyebut hamba-Nya yang taat dengan ‘abd/’ibâd (QS. al-Furqân [25]: 63). Kemudian, ketika menyebut budak, kedua istilah ini seringkali diiringi dengan perintah untuk melindungi hak-hak asasinya sebagai manusia biasa.

Rasulullah menggunakan kata yang lebih variatif untuk menyebut seorang budak. Kata-kata yang digunakan adalah ‘abd, raqabah, mâ malakat aymân, amah, mamlûk, khâdim, jâriyah, ghulâm, fata, dan riqq. Kata-kata ‘abd, raqabat, amat, dan mamlûk lebih dikenal untuk pengertian budak secara umum. Sedangkan penggunaan kata mâ malakat aymân, khâdim, ghulâm, fata, amat, jâriyat, riqq, lebih mengesankan adanya makna khusus yang ingin ditampilkan dalam rangka memperbaiki citra budak di tengah masyarakat.

Nabi ingin memberikan nuansa baru terhadap budak berkenaan karena segala macam tidak semena-mena yang diterima selama ini. Untuk itu mereka disebut dengan mâ malakat aymân (orang-orang yang dikuasai oleh tangan kanan. Di samping bisa dimanfaatkan, sang tuan juga punya tanggung jawab padanya di dunia dan akhirat, bukan hanya untuk dieksploitasi jiwa raganya); khadim, ghulam, fata (seorang pemuda, di samping dapat dimanfaatkan untuk membantu dan melayani berbagai kebutuhan, juga seorang manusia yang memiliki hati dan nurani dan butuh perlakuan manusiawi).

Budak-budak wanita dipanggil dengan jâriyah, dan fatayât (seorang perempuan, gadis dan pemudi yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Di samping itu, dia juga adalah makhluk yang lemah dan terhormat yang sangat berharap untuk dilindungi dan dijaga kehormatannya itu). Para budak adalah orang-orang lemah yang perlu dikasihani, diayomi, dibimbing, dan ditumbuhkan lagi kepercayaan dirinya (riqq) untuk bisa hidup normal kembali.

Jadi, al-Qur’an dan hadis tetap mengakui bahwa budak merupakan milik tuannya dengan catatan bahwa kepemilikan itu tidak mutlak seperti zaman sebelumnya. Budak harus mendapatkan pengakuan terhadap kemanusiaannya, karena itu mereka juga berhak terhadap perlakuan-perlakuan baik sebagaimana manusia lainnya yang merdeka. Seorang muslim tidak boleh memanggil, apalagi menganggap, budak yang dimilikinya sama dengan barang atau binatang. Seiring dengan hak tuan terhadap budaknya, dia juga mempunyai kewajiban tertentu yang harus ditunaikan. Lewat hadis-hadisnya, Rasul menggunakan istilah yang memberikan kesejukan kepada para budak. Sebutan itu, di samping banyak yang juga dipakai untuk orang merdeka, juga menggambarkan penghargaan Islam yang tinggi kepadanya.

Perlu juga dijelaskan bahwa, secara sederhana, modern berarti masa sekarang atau kini (the present or recent times) (A.S. Hornby, 1987: 544). Secara umum, kata ini berarti baru, terkini, mutakhir (John M. Echol dan Hassan Shadily, 1992: 384). Dalam bahasa Arab istilah ini dikenal dengan mutaakhkhir, atau lawan dari kuno lama, masa lalu dan klasik. Perbudakan modern yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah perbudakan masa kini, atau masa di mana manusia mengklaim diri mereka sebagai masyarakat yang telah maju, rasional, beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan memproklamirkan perang dengan segala macam perbudakan. Masa ini ditandai dengan terjadinya Revolusi Perancis dan keluarnya dekrit Presiden Amerika, Abraham Lincoln.

C. REALITAS PERBUDAKAN MODERN

Secara resmi, perbudakan di Eropa memang telah dihapuskan dengan Revolusi Perancis, di Amerika dengan keluarnya dekrit Abraham Lincoln dan di dunia dengan kesepakatan bangsa-bangsa. Benar adanya bahwa perang saudara yang terjadi antara Amerika Utara (yang ingin menghapuskan perbudakan) dengan Amerika Selatan (yang ingin mempertahankannya) dimenangkan oleh Amerika Utara. Bahkan penghapusan perbudakan ini telah menimbulkan gejolak sosial yang besar dan Abraham Lincoln, sang pencetus, menjadi korban dari idenya sendiri (Hamka, 1994: 73). Persoalannya, apakah sejak saat itu tidak ada lagi praktek perbudakan, atau perbuatan yang bentuknya lain tapi substansinya tidak berbeda dengan perbudakan di zaman klasik? Ini pertanyaan mendasar yang mesti dijawab dengan penuh kejujuran.

Pada tahun enam puluhan, Mahmûd Syalthût telah berbicara lantang tentang persoalan ini dalam bukunya al-Islâm: Aqîdah wa Syarî’ah (Quraish Shihab, 1997: 813-814). Syalthût menulis :

Menurut pandangan saya, perbudakan bentuk lama telah digantikan oleh perbudakan masa kini yang lebih berbahaya terhadap kemanusiaan. Wujud baru itu adalah penjajahan terhadap bangsa-bangsa dalam hal pikiran, harta, kekuasaan dan kemerdekaan negara mereka. Dahulu, perbudakan menyangkut pribadi dan berakhir dengan kamatian, sementara negara mereka tetap merdeka. Adapun dalam perbudakan terhadap bangsa, siapapun yang lahir di sana akan tetap merintih di bawah perbudakan sebagaimana keadaan orang tua mereka. Perbudakan masa kini merupakan perbudakan abadi dan menyeluruh yang dipaksakan oleh suatu agresi yang bersifat sangat aniaya. Alangkah wajarnya perbudakan seperti itu diberantas, bukan hanya melalui penyisihan sebagian harta zakat, tetapi juga dengan segala macam harta, bahkan jiwa.

Ketika mengomentari pendapat ini, Shihab memberikan jabaran yang agak luas (Quraish Shihab, 1997, 814). Dalam hal ini Shihab menyatakan bahwa manusia sekarang tidak lagi diperbudak dengan metode klasik. Sadar atau tidak sebagian manusia sekarang tidak lagi menikmati kemerdekaan sebagaimana layaknya manusia. Mereka terbelenggu oleh perbudakan yang sulit untuk diungkapkan, namun sangat dirasakan.

Salah satu sosok budak modern, menurut Shihab, adalah sebagian manusia terpelajar yang menyediakan diri dan pengetahuannya untuk tujuan yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Orang-orang ini diperdagangkan layaknya budak di tengah derasnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagian mereka mungkin sadar dan ingin bebas, tetapi mereka terikat kontrak dengan “sang tuan” dalam jumlah yang tidak dapat ditebusnya. mereka sama dengan budak masa lalu yang terikat lehernya (raqabah).

Senada dengan Shihab, namun dengan nada yang lebih keras, dikemukakan oleh Ali Shariati, seorang intelektual muslim syi’ah yang gigih menentang Syah Iran (Ali Shariati, 1987, 96-97).

Dengan sangat gamblang Shariati bicara : “Saya menyaksikan jenis perbudakan lain yang sedang dipraktekkan di pusat-pusat intelektual Eropa, Cambridge dan Sorbonne. Budak-budak yang diperdagangkan di sana bukannya manusia-manusia primitif dari rimba raya Afrika, akan tetapi adalah kaum intelektual yang sangat pintar di muka bumi. Mereka diletakkan dalam suatu pelelangan untuk suatu harga yang sangat tinggi. Sesungguhnya mereka sendirilah yang menawarkan diri untuk dilelang di hadapan barisan para kapitalis, agen-agen korporasi, dan perusahaan raksasa dari Amerika Serikat, Eropa, Cina, Rusia, dan bagian lain di dunia industrial.

Seseorang mengatakan bahwa dia sanggup membayar sarjana yang baru lulus, segera lulus, calon doktor, ahli kimia, insinyur, atau sosiolog, dengan 15.000 toman perbulan. Calon tuan lain mengatakan bahwa dia sanggup menyediakan kendaraan pribadi. Sedangkan yang lainnya lagi menjanjikan jumlah uang di atas itu, kendaraan, dan sopir pribadi. Budak modern yang dijadikan sasaran tawar-menawar akan melihat calon tuannya lebih dahulu, termangu-mangu sebentar, dan kemudian akan mengikuti tuan yang sanggup memberikan bayaran tertinggi”.

Dalam komentarnya, Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa perbudakan masa kini bukan hanya seperti yang terlihat pada zaman dahulu. Pada masa sekarang terdapat berbagai macam jenis perbudakan, seperti perbudakan politik, industri, dan sosial (Abdullah Yusuf Ali, tth.: 1739). Dan dengan ungkapan berbeda, Muhammad Quthb mengakui bahwa perbudakan belum berakhir, tapi hanya berganti nama. Jika masa lalu manusia masih jujur berbahasa dengan mengatakan bahwa realitas tersebut sebagai perbudakan, maka manusia sekarang lebih mampu mengemas realitas menjijikkan itu dengan bahasa yang indah, halus dan bersahabat (Muhammad Quthb, 1973: 52).

Menyimak pendapat para pakar di atas, dapat dikatakan bahwa mereka sama-sama melihat realitas perbudakan di masa kini. Propaganda penghapusan perbudakan telah mengalami kegagalan dan klaim bahwa perbudakan telah berakhir sangat perlu dipertanyakan. Bahkan, melihat format perbudakan terkini yang dikemukakan di atas, ada kecendrungan yang sangat besar bahwa praktek perbudakan dilakukan oleh negara-negara pengusung propaganda di atas dan mereka berlagak sebagai penjunjung tingginya. Dengan kata lain, meminjam pendapat Syalthût, perbudakan modern dilakukan oleh negara-negara imperialis yang nota bene berasal dari benua Eropa dan Amerika.

Untuk menguji pendapat di atas, sangat penting dipahami terlebih dahulu substansi dan karakteristik perbudakan klasik. Hasil kajian itu sangat berguna untuk mengevaluasi realitas masa kini guna mendeteksi ada tidaknya perbudakan modern. Secara umum, substansi dan karakteristik perbudakan tempo dulu dapat dikatakan :

Pertama, budak berasal atau didapatkan dari peperangan, pembelian, penculikan, penangkapan dan keturunan. Kisah yang dialami Zaid bin Haritsah, misalnya, adalah contoh dari sebuah penangkapan. Ketika masih kecil, Zaid dibawa oleh ibunya ke kampung Bani Ma’na. Sewaktu sekelompok Badui merampok daerah tersebut, mereka menangkap para wanita dan anak-anaknya yang tidak terselamatkan, termasuk Zaid bin Haritsah Zaid kecil kemudian dibawa ke pasar budak, ‘Ukadz, untuk dijual (al-Jazariy, tth.: 129; Khalid Muhammad Khalid, 1994, 257). Nasib yang sama juga dialami oleh budak-budak Afrika abad ke-16. Mereka ditangkap, layaknya seorang pemburu menangkap buruannya, kemudian dijual ke calo budak untuk dibawa ke Amerika (Republika, 1999: 1).

Kedua, budak merupakan manusia yang dimatikan keinginan, rasa, pikiran dan cita-citanya. Dia tidak boleh berhasrat di luar batasan hidup yang ditetapkan tuannya. Budak tidak pantas merasa jijik, letih, penasaran, sedih, takut, enggan dan menolak segala tugas yang diberikan. Baginya tidak ada arternatif lain kecuali mengikuti sang tuan. Budak juga tidak usah berpikiran di luar batas tugasnya. Jika sang tuan menyuruh bekerja di ladang, dia tidak perlu memikirkan tentang hasil kerjanya, bagaimana mengolah dan kemana dijual. Karena tugasnya adalah bekerja, maka segenap pikiran, perasaan dan tenaganya harus terpusat hanya pada pekerjaan tersebut.

Ketiga, budak dimiliki oleh tuannya. Perlakuan tuan terhadap budaknya sama dengan perlakuan seseorang terhadap hewan atau barang. Dia bisa dipe-kerjakan tanpa digaji, bahkan hanya diberi makan, pakaian, dan tempat tinggal sekedarnya. Seperti halnya Bilal bin Rabah sebelum Islam yang hanya men-dapatkan dua genggam kurma dari menggembala unta dan domba (Khalid Muhammad Khalid, 1994: 105). Budak juga bisa ditelantarkan, dijual, dibuang, dihadiahkan, dianiaya dan dibunuh. Kalau dia wanita dan tuan berkenan, dia bisa digauli tanpa harus dinikahi, disuruh melacur dengan orang lain untuk tuannya. Al-Qur’an (QS. al-Nahl [16]: 75) mengistilahkan nasib budak ini dengan ‘abdan mamlûkan lâ yaqdiru ‘alâ syai’ (seorang yang benar-benar dikuasai orang lain sehingga dia tidak punya wewenang apa-apa, termasuk pada dirinya sendiri).

Pada zaman Romawi kuno, budak tidak hanya disuruh bekerja di ladang atau di lahan produktif lainnya. Mereka juga diwajibkan “menghibur” tuan-tuan mereka dengan taruhan nyawa. Budak-budak dijadikan tontonan dengan mengadu sesama mereka dalam satu perkelahian hidup-mati. Mereka dipaksa saling membunuh untuk mempertahan kehidupan masing-masing. Keringat bercucuran, darah mengalir dan mereka yang mengelepar-gelepar seperti ayam menyambut kematian merupakan hiburan yang sangat menyenangkan bagi tuan-tuan mereka (Muhammad Quthb, 1973: 36).

Keempat, budak bisa mendapatkan kemerdekaannya dengan jalan melarikan diri, membayar tebusan kepada tuan dengan harga yang ditentukan, atau dibuang oleh tuannya karena tidak bisa dimanfaatkan lagi. Melarikan diri merupakan jalan termungkin, sekaligus sangat berbahaya bagi budak untuk merdeka karena mereka yang dipekerjakan di ladang dan diawasi secara ketat oleh pengawal-pengawal yang kejam. Hanya budak-budak yang kuat dan nekat saja yang berani menempuh jalan ini. Membayar tebusan merupakan sesuatu yang jauh dari mungkin, jika tidak dapat disebut mustahil, bagi para budak. Dia tidak mungkin mendapatkan harta untuk membayar dirinya. Cara ini terlaksana jika ada keluarga, famili, kaum atau orang lain yang bermurah hati menebusnya.

Menyimak substansi perbudakan klasik dan beberapa karakteristik sosio-historis yang melekat padanya, maka beberapa pendapat berkenaan dengan perbudakan modern yang disitir di atas tidaklah dapat disangkal. Kebenaran pendapat mereka, paling tidak, dapat disorot dari dua sudut. Pertama, memang banyak manusia sekarang yang jasad, pikiran dan jiwanya dimiliki oleh orang lain. Bahkan ada bangsa dan negara yang hidup di bawah telapak kaki bangsa lain. Kedua, sangat tepat jika dikatakan bahwa format perbudakan telah mengalami banyak modifikasi sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihat realitas tersebut.

Jika dianalisa lebih dalam, sebenarnya perbudakan modern tidak hanya terbatas pada format yang dikatakan oleh beberapa pendapat di atas. Memang benar bahwa perbudakan telah dikemas dalam bentuk yang lebih “santun” dan “manusiawi”, terutama labelnya. Sebagaimana diungkap oleh Ali Syari’ati dan Quraish Shihab bahwa sekelompok orang terpelajar, bahkan sangat terdidik “otaknya”, melacurkan diri untuk mengabdi kepada harta sehingga mau dipajang dengan berbagai tarif di “pasar budak” internasional. Namun, perbudakan dengan format klasik pun masih didapatkan di banyak bagian bumi ini.

Mengamati agresi militer dan penjajahan akan sangat mudah menemukan potret perbudakan itu. Lihat saja bagaimana Rusia memperlakukan tentara Jepang dengan kasar dan dikirim ke Siberia. Nasib yang sama dialami oleh tawanan perang dunia kedua. Bagaimana pula dengan wanita Jerman diperkosa secara sadis sewaktu Sekutu memasuki negeri itu. Begitu juga nasib yang dialami oleh wanita Jepang. Lihatlah prilaku Perancis terhadap orang-orang Maroko, Tunisia dan Aljazair. Mereka membunuh ratusan ribu orang yang menuntut kemerdekaan.

Barat yang katanya paling beradab dan peduli terhadap HAM bertindak sewenang-wenang terhadap umat Islam yang ada Afghanistan, Palestina, Bosnia dan tempat lainnya. Jutaan umat Islam dibantai, ratusan wanita diperkosa dan dipaksa melahirkan anak haram mereka. Wanita hamil dibedah perutnya dengan kejam tanpa alasan. Sumber-sumber kehidupan mereka ditutup dan tempat tinggal mereka diratakan dengan tanah. Banyak di antara mereka yang dipaksa melakukan pekerjaan berat dan sebagainya. Ini semua adalah perbudakan, yang bahkan lebih telanjang dan kasar. Rakyat Indonesia sendiri tidak ada bedanya dengan budak ketika terjadi penindasan oleh Belanda dan Jepang.

Dalam format yang orisinil, perbudakan masih bertebaran di banyak belahan dunia. Di Indoneisa, misalnya, praktek perbudakan sangat merajalela dan semakin sulit dijamah hukum. Dalam banyak kasus pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI), terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW), ke luar negeri terjadi praktek perbudakan yang kasat mata. Para calon TKI dijaring dari daerah dengan seribu satu janji dan penipuan (mirip dengan seorang pemburu budak menangkap mangsanya di pedalaman Afrika). Setelah calon TKI “dibekali” keterampilan dan persyaratan, tentu saja dengan dipungut biaya tinggi, mereka “dijual” ke luar negeri untuk satu jenis pekerjaan kasar yang belum pasti.

Banyak di antara mereka yang diperlakukan persis seperti budak zaman dulu karena mereka telah “dibeli”, di samping tidak sedikit di antara mereka yang terlunta-lunta karena tidak memiliki dokumen yang lengkap. Ada juga yang gagal dikirim, tapi disekap dalam sebuah rumah di Jakarta dengan makanan seadanya. Mereka tidak bisa pulang karena seluruh perbekalan keuangan telah disikat habis oleh calo yang telah raib entah ke mana.

Para buruh mendapat pelakuan yang tak kalah kejam dengan nasib Bilal bin Rabah. Para buruh dipekerjakan dengan jam kerja non-stop yang panjang, terkadang tanpa ada waktu untuk beribadah. Imbalan yang diterima tidak lebih dari sekedar biaya makan, rokok, transportasi dan menyewa tempat tinggal sangat sederhana. Bahkan ada yang tidak betah melanjutkan pekerjaan karena tidak sanggup menutupi kekurangan mereka dengan pendapatan setiap bulannya.

Banyak sekali gadis-gadis yang ditangkap di desanya dan kemudian dijual kepada seorang germo. Mereka dipekerjakan sebagai pelacur, disekap seperti tawanan yang diawasi para tukang pukul dan diberi gaji yang tidak lebih dari pembeli alat kosmetika. Ada juga sebagian oknum yang menangkap bocah-bocah yang lepas dari pengawasan orang tuanya untuk dijual dengan harga yang tinggi.

Memang benar yang dikatakan Muhammad Quthb dan Nashih ‘Ulwan bahwa perbudakan telah berubah bentuk (Abdullah Nashih ‘Ulwan, 1988: 65-76; Muhammad Quthb, 1973: 43-47). Akan tetapi, manusia hari ini tidak mau menamakan semua pembantaian, perkosaan masal, pencabutan akar-akar kehidupan, perdagangan manusia (bocah, anak gadis dan istri tetangga), meminum darah dan keringat buruh, menggusur orang-orang lemah ke tampat tandus demi “pembangunan”, serta membiarkan orang-orang miskin telanjang dan tidak bertempat tinggal dengan istilah perbudakan. Semua itu dinamakan dengan pembangunan, kepedulian, solidaritas, persaudaraan, persamaan, pemerataan dan saling berbagi keuntungan. Padahal, apa yang dilakukan itu jauh lebih jahat perbuatan manusia “primitif” yang hidup di zaman “kuno”.

D. ALTERNATIF SOLUSI

Secara historis, al-Qur’an diturunkan pada masyarakat yang mempraktekkan perbudakan. Sebagai kitab suci yang membawa misi pembebasan budak (QS. al-Balad [90]: 13), maka al-Qur’an memberikan penjelasan menawarkan penyelesaian masalah sosiologis perbudakan ketika itu. Di dalamnya terdapat banyak penjelasan tentang terapi mental dan pisik yang harus dilakukan umat Islam dalam mengobati permasalahan perbudakan.

Sebelum seorang budak dimerdekakan secara pisik, kepadanya harus diberikan perbekalan mental. Para budak diajarkan memandirian jiwa dan pisik dan bagaimana menatap kehidupan luar yang lebih keras dan menantang. Sang tuan juga dipersiapkan secara mental untuk melepas budaknya, sehingga dia tidak merasa kehilangan atau rugi dengan merdekanya budak yang dimiliki. Al-Qur’an tidak aniaya dalam membebaskan budak. Artinya, walaupun hal itu merupakan perbuatan mulia, al-Qur’an tidak memaksa seorang tuan untuk memerdekakan budaknya sehingga ia merasa ditekan dan dirugikan.

Cara yang ditempuh al-Qur’an untuk memerdekakan budak secara psikis dan pisik tidak merugikan pihak manapun. Budak merasa sangat beruntung bisa menikmati alam kemerdekaan dan tuan sangat puas setelah sukses melakukan amalan yang dapat mengantarkannya ke syurga. Jika secara materi ada yang tidak bisa direlakan, Islam mewajibkan budak untuk menebusnya atau meminta orang lain untuk membayarkan kemerdekaan dirinya. Islam juga memberikan jalan yang sangat manis, di mana tuan dan budak diikat terlebih dahulu sebagai “suami-istri” sehingga terpenuhi segala hasrat kedua belah pihak, kemudian baru memberikan kemerdekaan kepada budak itu.

Pertanyaannya, bisakah ajaran al-Qur’an digunakan untuk menghapuskan perbudakan universal modern? Secara doktrinal, al-Qur’an memuat ajaran-ajaran penting bagi manusia yang aplikatif di setiap dimensi ruang dan waktu. Dari keyakinan itu dapat dikembangkan bahwa perbudakan yang ingin dihapuskan al-Qur’an secara gradual itu bukan hanya yang ada sebelum kedatangannya saja. Obyek dari al-Qur’an itu adalah segala bentuk perbudakan yang sama secara format atau substansi dengan yang ada ketika Islam pertama kali diserukan oleh Rasulullah.

Bagi umat Islam yang mempercayai kitab sucinya, al-Qur’an tentu saja dapat dioperasionalkan untuk menghapuskan perbudakan modern yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini. Tuntunan Islam yang akan diterapkan itu tentu saja merupakan hasil pemahaman al-Qur’an secara mendalam ditambah dengan analisa yang cermat detail-detail persoalan aktual sekarang. Dengan kata lain, pendekatan kontekstual harus mendapatkan porsi yang lebih memadai karena kondisi perbudakan masa lampau jauh berbeda dengan sekarang.

Akan tetapi, apakah hal itu memungkinkan, mengingat tidak semua manusia yang beragama Islam dan mempercayai al-Qur’an. Ini memang sebuah kendala, tapi hal itu tidaklah begitu menghalangi peran al-Qur’an dalam menghapuskan perbudakan modern. Jika isi al-Qur’an tidak bisa diterima secara bulat oleh seluruh umat dunia, maka metodologi yang dipakai al-Qur’an tetap dapat dijadikan pedoman dalam menghilangkan perbudakan modern. Artinya, nilai-nilai universal dan substanstif dari setiap langkah penghapusan perbudakan yang dilakukan al-Qur’an dapat diadopsi untuk menyelesaikan perbudakan modern global. Bertolak dari situ, paling tidak ada tiga langkah pokok yang dapat dilakukan untuk menghambat lajunya perbudakan, untuk jangka pendek, dan menghapuskan segala bentuk perbudakan, untuk jangka panjangnya.

Pertama, menutup rapat pintu-pintu perbudakan.
Al-Qur’an meperintahkan kepada umat Islam untuk tidak lagi memperbudak tawanan perang, seperti sebelumnya. Untuk itu, al-Qur’an memberikan dua alternatif pembebasan, yaitu: membebaskan tawanan tanpa tebusan atau membebaskan mereka dengan membayar tebusan (QS. Muhammad [47]: 4). Dari sini dapat dipahami bahwa sejak turunnya ayat di atas umat Islam tidak lagi diperkenankan memperbudak tawanan perang. Dengan kata lain, sejak saat itu masyarakat Islam tidak lagi “memproduksi” budak-budak baru, kecuali ada sebab-sebab lain yang diizinkan oleh syara’. Perbudakan hanyalah alternatif terakhir dari semua kemungkinan yang bisa dilakukan.

Setiap negara perlu menyepakati sebab-sebab bolehnya satu atau beberapa negara menyerang negara lain. Dengan demikian, sebuah negara tidak lagi ditolelir menduduki negara lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan oleh logika dan perasaan. Ini merupakan persoalan yang penting diperhatikan, karena dalam agresi dan pendudukan militer seringkali terjadi tindakan memperbudak dan pelanggaran HAM.

Di samping itu, perbudakan harus didefenisikan secara jelas dan tegas. Penyatuan pengertian ini dapat dijadikan alat ukur untuk menilai suatu tindakan yang beraroma perbudakan. Seiring dengan itu, harus ditetapkan sanksi yang tegas terhadap setiap perbuatan yang dapat dikatakan sebagai memperbudak, baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun suatu negara. Semua itu akan dapat mencegah timbulnya perbudakan lebih lanjut.

Kedua, memperlakukan para “budak” modern secara manusiawi.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa seorang budak berhak mendapatkan perlakuan yang baik (QS. al-Nisâ’ [4]: 36). Mereka membutuhkan perlakuan manusiawi dari orang lain sebagaimana perlakuan baik yang didapatkan oleh Ibu-Bapak, karib kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga, teman dan sebagainya. Dengan adanya ajaran ini, para budak yang hidup dalam masyarakat Islam tidak lagi merasakan perbedaan mendasar dengan orang merdeka. Itulah yang membuat mereka tidak merasa terhina dengan status sebagai budak atau mantan budak.

Bagi seseorang, kelompok orang atau suatu negara yang telah terlanjur “memperbudak” orang lain dan tidak mungkin membebaskannya begitu saja, maka “budak” tersebut harus diperlakukan secara baik dan manusiawi. Mereka harus diperlakukan sebagaimana layaknya seorang manusia. Al-Qur’an telah mencontohkan humanisasi para budak sehingga mereka diberikan hak dan kewajiban yang substansinya tidak berbeda orang-orang merdeka, sekalipun formatnya berbeda.

Tentu saja bagi penganut agama selain Islam atau orang yang tidak mengakui al-Qur’an tidak mau menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman secara mutlak. Alternatifnya, mereka bisa menjadikan agama masing-masing sebagai acuan. Dalam hal-hal yang bersifat global dan universal, semua agama yang ada di dunia tidak mempunyai perbedaan yang mendasar. Semua agama menganjurkan keadilan, berbuat baik dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
Ketiga, “memerdekakan” para “budak” secara bertahap.

Hal ini merupakan prinsip pokok dan sasaran akhir yang dianut oleh al-Qur’an dalam membebaskan budak (QS. al-Balad [90]: 13). Para budak atau mereka yang lehernya dijerat tersebut harus ditolong untuk keluar dari kubangan ketidakmerdekaan. Berhubung hal itu tidak mungkin dilakukan dengan frontal dan sekaligus, maka pelaksanaannya membutuhkan banyak waktu, cara dan metode. Pendayagunaan zakat merupakan salah satu manhaj untuk itu (QS. al-Taubah [9]: 60).

Dalam hal ini seseorang, sekelompok orang, atau suatu negara yang berkuasa terhadap yang lainnya harus mempunyai niat dan keinginan yang kuat untuk membebaskan orang yang dikuasainya. Suatu negara yang menduduki negara lain atau memiliki tawanan perang harus memberikan kebebasan kepada mereka untuk menentukan kehidupan sendiri. Para tawanan tersebut harus dibebaskan, apakah dengan tebusan atau dilepaskan begitu saja.

Bagi majikan yang selama ini berbuat sewenang-wenang terhadap karyawannya, makna “memerdekakan” mereka bukan berarti memberhentikan atau membatalkan kontrak kerja yang ada begitu saja. Membebaskan karyawan dari belanggu “perbudakan” itu berarti memberikan kepada mereka hak dan kewajiban secara berimbang, kebebasan memilih untuk melanjutkan pekerjaan atau berhenti, menyatakan pendapat untuk setuju atau tidak dan sebagainya.

Orang-orang yang selama ini berprofesi sebagai pemburu, calo-calo lokal, germo dan penyalur “tenaga kerja”, harus dengan rela meninggalkan pekerjaan itu secara perlahan. Mereka harus menyadari sepenuhnya bahwa perbuatan itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Masih banyak pekerjaan lain yang lebih terhormat dan menghasilkan banyak uang yang dapat dilakukan untuk melanjutkan kehidupan.

Dengan melihat secara nyata dampak positif dari langkah-langkah yang ditempuh al-Qur’an, dapat dipahami sepenuhnya kenapa al-Qur’an tidak menghapuskan perbudakan secara mendadak dan sekaligus. Telah terbukti bahwa dari langkah gradual yang diambil al-Qur’an dapat menekan resiko sekecil mungkin. Dari sana juga dapat dimaklumi kenapa al-Qur’an tidak mengharamkan perbudakan dengan lafaz yang sharîh sebagaimana terhadap judi, misalnya. Dan dari situ juga bisa dimengerti kenapa al-Qur’an tidak menghapuskan ayat-ayat yang berbicara tentang perbudakan, seolah-olah perbudakan masih ada sampai hari ini. Semua itu merupakan langkah-langkah jenius al-Qur’an yang terkadang tidak bisa diikuti oleh pikiran telanjang manusia.

E. PENUTUP

Sangat penting dicatat bahwa kemajuan yang mengagumkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah garansi terhadap kemampuan manusia menghargai harkatnya sendiri, apalagi orang lain. Manusia modern memang memiliki prestasi gemilang dalam menundukkan alam dan lingkungan, tapi tidak berdaya berhadapan dengan sisi jahat dirinya sendiri. Sekalipun logika menyepakati bahwa segala hak-hak dasar manusia harus dihargai, namun nafsu untuk menginjak-injak orang lain tetap dapat mengalahan hasil olahan akal itu.

Di sengaja atau tidak, ide-ide penegakkan HAM seringkali dilecehkan oleh penganjurnya sendiri. Realitas membuktikan bahwa negara-negara maju, yang katanya lebih beradab, suka menindas negara lain yang tidak berdaya. Manusia-manusia “pintar” memiliki banyak intrik dan kesempatan untuk mengeksloitasi orang lain. Apa yang sering dikatakan sebagai kerjasama, belas kasihan, tolong menolong dan berbagi kesejahteraan adalah perbudakan nyata. Wallâhu a’lam bi al-shawab**

Siasati Kemiskinan


MENSIASATI KEMISKINAN

Oleh: Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Ada “berita gembira” yang baru-baru ini dilansir oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Lembaga ini menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2007 turun 2,13 juta dibanding periode yang sama tahun 2006, yang waktu itu 39,30 juta jiwa atau 17,75 persen dari penduduk Indonesia. Beberapa kalangan tidak menerima data BPS ini. Bagaimana mungkin angka kemiskinan 2007 turun di tengah mahalnya harga sembako yang dipicu dengan beras dan minyak goreng. Kenaikan harga justru mengurangi daya beli masyarakat. Klaim BPS bahwa kenaikan pendapatan rakyat miskin melebihi meroketnya harga sembako sangat diragukan.

Terlepas dari polemik di atas, satu hal yang pasti, sangat banyak rakyat Indonesia yang masih dililit oleh kemiskinan. Sebelum Indonesia terperosok ke dalam krisis ekonomi saja, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sudah mencapai 22,5 juta. Dapat dibayangkan populasinya hari ini di mana krisis ekonomi tidak kunjung teratasi.

Jalan Terjal Pengentasan Kemiskinan

Berbagai upaya pengentasan kemiskinan telah pernah dilakukan, tapi sering membentur karang kokoh. Setidaknya, ada dua sebab kegagalan tersebut. Pertama, program itu cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin, seperti beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS). Kebiasaan pemerintah yang suka “memberi ikan”, bukan “memberi pancing” ini telah banyak menimbulkan masalah baru. Rakyat miskin dididik menjadi manja dan pundak pemerintah semakin dipenuhi oleh beban-beban permanen. Pemerintah semestinya memancing dan memfasilitasi kerja keras dan kreatifitas rakyat dengan menciptakan berbagai peluang dan lapangan kerja.

Kedua, kurangnya pemahaman pengambil kebijakan tentang penyebab kemiskinan sehingga program yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. Data dan informasi yang digunakan adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN. Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik. Data dan informasi seperti ini tidak dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar dan heterogen yang mencakup banyak wilayah.

Hemat dan Solider

Sebagai rakyat, di samping menunggu secara aktif kebijakan pemerintah dan tetap optimis serta bekerja keras melepaskan diri dari kemiskinan, ada dua tips jitu untuk mensiasati kondisi buruk ini.

Pertama, hidup hemat. Kemiskinan tidak hanya terjadi karena kecilnya pemasukan, tetapi juga tidak jarang disebabkan oleh besarnya pengeluaran. Hidup hemat merupakan jalan cerdas untuk menghadapi keterjepitan ekonomi saat ini. Gaya hidup konsumtif sesungguhnya merupakan racun berbahaya bagi kestabilan ekonomi keluarga.

Nabi pernah menegur seseorang yang membiarkan begitu saja bangkai kambingnya yang telah mati. Beliau menyuruh orang itu mengambil kulitnya untuk dimanfaatkan, karena yang haramnya hanyalah dagingnya. Dengan menyuruh memanfaat sisa-sisa nilai ekonomis bangkai kambing itu, Rasul ingin mengajarkan hidup hemat dengan cara memperpanjang masa pakai suatu barang. Kita dapat manfaatkan barang-barang yang ada (baju, celana, sepatu, perabot rumah, mainan anak-anak dan lain-lain) secara maksimal. Jangan cepat dibuang dan digudangkan hanya karena sedikit rusak atau ketinggalan mode. Bila perlu, alihkan fungsinya pada yang lain jika tidak bisa dimanfaatkan lagi untuk fungsi utamanya, seperti baju yang tidak dipakai bisa disulap jadi kain pel.

Kedua, perkuat solidaritas sosial. Jangan dikira orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak mengalami kesulitan ekonomi ketika baru hidup bersama di Madinah. Banyak juga dari mereka yang hidup prihatin dan miskin. Tapi semua kesulitan tersebut mereka hadapi bersama-sama dengan saling memberikan perhatian dan bantuan. Mereka menjelma menjadi satu tubuh, di mana semuanya akan merasa sakit dan turut mengobati ketika ada di antara mereka yang menderita.

Seorang sahabat pernah diberi kepala kambing oleh yang lain. Walau dia sangat membutuhkan makanan itu, tapi kepala kambing yang baru saja diterima itu diberikan pada orang lain yang menurutnya lebih butuh. Penerima kedua juga memberikan pada penerima ketiga karena pikirannya sama dengan penerima pertama. Penerima ketiga dan selanjutnya juga seperti sehingga kepala kambing diberikan secara terus menerus dari rumah ke rumah, malahan akhirnya kembali ke rumah orang yang pertama memberikan.

Peristiwa inilah yang melatarbelakangi turunnya ayat QS. 59:9 yang menyatakan bahwa orang-orang Anshar (kaum muslim) lebih mendahulukan muslim lainnya sekalipun dia dalam kesulitan. Ini benar-benar merupakan sebuah potret masyarakat yang saling asah, asih dan asuh dalam arti sebenarnya serta sebuah kesungguhan (jihad) sosial yang sangat mujarab untuk meredam laju kemiskinan hari ini.

Menunggu Anshar

MENUNGGU KAUM ANSHAR

Oleh: Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Dalam sejarah Islam, istilah Anshar tidak bisa dipisahkan dari Muhajirin. Anshar (orang-orang yang menolong) adalah sebutan untuk masyarakat Madinah yang menerima dengan tangan terbuka kedatangan Nabi dan para sahabat. Sedangkan Muhajirin (orang-orang yang hijrah) adalah sebutan untuk penduduk Mekah yang eksodus ke Madinah. Mereka terpaksa mengungsi, dengan perbekalan seadanya, karena selalu dikejar-kejar oleh kaum kafir Mekah.

Banyak sekali kejadian menakjubkan di antara kedua golongan ini. Kaum Anshar membantu secara total kaum Muhajirin yang papa itu. Sebagai ilustrasi, dalam sebuah hadis diceritakan bahwa ada seorang Anshar yang rela memberikan, bukan meminjamkan, separoh hartanya kepada seorang Muhajirin. Bahkan, saking tingginya rasa persaudaraan mereka, kaum Anshar berusaha memenuhi segala kebutuhan para pengungsi, termasuk kebutuhan batin. Ada di antara orang Anshar yang mempersilahkan Muhajirin memilih salah seorang istrinya untuk dinikahi setelah dia menceraikan istrinya itu.

Dengan sangat indah Allah mendeskripsikan peristiwa langka di sepanjang sejarah manusia itu dalam al-Qur’an :

Dan penduduk Madinah yang telah beriman sebelum kedatangan Rasul (kaum Anshar) sangat mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (kaum Muhajirin). Mereka tidak pernah berkeinginan untuk mengambil kembali apa yang telah diberikan kepada Muhajirin. Bahkan, kaum Anshar lebih mengutamakan kebutuhan kaum Muhajirin dibanding diri mereka sendiri, sekalipun mereka sedang dalam kesulitan. Dan orang-orang yang memelihara dirinya dari sifat kikir, itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-Hasyr [59]: 9).

Kaum Anshar, mestinya tidak hanya tinggal kenangan manis bagi sejarah Islam yang statis. Anshar harus selalu ada dan diciptakan dalam setiap episode sejarah umat Islam. Mereka merupakan simbol masyarakat berbudaya yang memiliki keimanan dan rasa kemanusiaan sangat tinggi. Mereka tidak minta garansi apapun ketika mengulurkan tangan menolong para pengungsi yang eksodus ke daerahnya. Banyak di antara mereka yang sebelumnya tidak pernah bertemu, apalagi berkenalan. Namun, semua itu tidak menghalangi orang-orang Anshar untuk menyelamatkan kehidupan para Muhajirin.

Saat ini, sebagian besar rakyat Indonesia sangat menantikan datangnya kaum Anshar, terutama saudara kita yang sedang tinggal tanpa kepastian di tempat-tempat pengungsian. Mereka menawarkan syurga kepada semua kita. Ini merupakan saat yang tepat untuk membukti kepada Allah bahwa kita memang merupakan hamba pilihan-Nya. Jangan terlalu lama berfikir dan menunggu, sebelum terlambat. Tangan yang diulurkan belakangan seringkali tidak dibutuhkan lagi. Tidak ada artinya mengulurkan tangan jika orang yang akan ditolong telah berada di atas, atau sudah terkapar di dasar jurang. Kita sedang berlomba dengan malaikat maut yang sudah sejak lama bersiap merenggut nyawa saudara dan bangsa kita. Kita semua harus datang sebagai Anshar bagi mereka, jika tidak ingin diteriaki oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai orang yang mendustakan agama. WalLahu a’lam bish Shawab.

Sumber : Hikmah Republika

Mengakui Kesalahan

MENGAKUI KESALAHAN

Oleh : Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Mengakui kesalahan seringkali dianggap perbuatan bodoh dan menjatuhkan diri sendiri ke dalam kehinaan. Pelakunya dianggap tidak punya harga diri lagi, tidak istiqamah (teguh pendirian), dan tidak memiliki prinsip hidup. Pendapat itu amat keliru. Mengakui kekhilafan, kesalahan, dan dosa serta bertekad tidak akan mengulangi lagi merupakan perbuatan yang sangat mulia. Islam menamakannya dengan taubat, dan Allah sangat menyayangi orang yang benar-benar bertaubat. Dalam al-Qur’an dikatakan, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. al-Baqarah [2]: 222).

Perlu disadari bahwa semua manusia pernah melakukan kesalahan, sampai Nabi sekalipun. Karena lupa, khilaf, dan salah sangat melekat dengan manusia itu sendiri. Maka tidak aneh jika setiap orang pernah berbuat salah. Keanehan itu terjadi jika seseorang terus-menerus berbuat salah. Dan tindakan tidak mau mengakui kesalahan dan berusaha memperbaiki merupakan hal yang paling aneh.

Sebenarnya, mengakui kesalahan merupakan sebuah pintu dari dinding pembatas antara dua ruangan; kebaikan dan keburukan. Jika seseorang tidak mau mengakui salahnya, berarti dia masuk dari pintu itu ke ruangan kajahatan. Sebaliknya, jika seseorang mau mengakui dosanya, berarti dia membuka pintu itu untuk masuk ke ruangan kebaikan. Allah sendiri mengatakan bahwa salah satu karakteristik orang-orang bertaqwa itu adalah mau mengakui kesalahan dan minta ampuh kepada Allah, kemudian dia tidak lagi mengulanginya lagi, “Dan (salah satu dari orang yang bertaqwa itu) adalah orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu”. (QS. Ali Imran [3]: 135).

Kenapa mesti takut mengakui kesalahan dan dosa, padahal di situ terdapat keuntungan yang besar. Jangankan pangadilan Allah Yang Maha Pengampun, pengadilan manusia manapun di dunia ini telah memberi keringanan hukuman kepada seorang terdakwa yang sejujurnya mengaku bersalah. Ibarat orang tersesat dalam berjalan, mengakui kesalahan itu sama dengan kembali ke belakang di mana dia mulai tersesat. Tentu perjalanan orang yang mau kembali jauh lebih mudah daripada orang yang tersesat, tapi terus menelusuri jalan yang menyesatkan itu.
Mengaku bersalah tidak membuat seseorang kehilangan kehormatan, bahkan sebenarnya hal merupakan upaya paling efektif menyelamatkan nama baik. Menyadari dosa dan bertekad tidak akan mengulangi lagi adalah salah satu pintu masuk menjadi manusia terbaik. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi yang umum telah berbuat kejahatan di masa lalu.

Satu hal yang sangat penting disadari, orang yang tidak mau mengakui kejahatannya berarti menjeratkan dirinya pada mata rantai dosa yang tiada berujung. Perbuatan menutupi kesalahan pasti akan diikuti dengan usaha menghilang barang bukti, dengan cara apapun. Bisa jadi hal itu dilakukan dengan berdusta, memfitnah, menyuap, mentoror, bahkan membunuh sekalipun. Jika usaha menghilangkan bukti ini membuahkan bukti baru, misalnya diketahui orang lain, maka bukti baru itu juga harus dilenyapkan. Begitulah seterusnya. Tak dapat dibayangkan berapa banyak dosa turunan yang harus dikerjakan.

Orang bersalah akan terus diburu kesalahannya. Hanya taubat yang membuat semua itu berakhir. Bagi pelaku dosa, dunia menjadi semakin sempit dan tidak ada tempat yang nyaman. Memang tidak enak hidup dalam kurungan yang dibikin sendiri. Wallahu a’lam bis shawab.

Sumber : Hikmah Republika

Membagi Kesempatan

MEMBAGI KESEMPATAN

Oleh : Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

“Menolong orang lain”, sebuah ungkapan yang sangat mudah dan sering diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Tanpa butuh waktu banyak untuk sepakat ketika membicarakan, tapi sering tidak satu langkah dalam melaksanakannya. Saat ini, orang lebih suka minta tolong, dalam soal apa saja, daripada menolong, sekalipun sebenarnya dia sudah seharusnya menolong. Itulah sebabnya budaya mengemis sangat mewabah di mana-mana, dari seorang pembesar sampai rakyat kecil.

Berbagi kesempatan, merupakan satu pertolongan yang sangat didambakan banyak orang. Allah sangat benci pada orang yang memakan sendiri segala jenis nikmatNya, tanpa membagi pada orang lain. Sekelompok sahabat pernah ditegur langsung oleh Allah karena mereka tidak mau memberi tempat duduk, di suatu pertemuan dengan Nabi, kepada sahabat lain yang baru datang. Walaupun Nabi telah menyuruh berdiri, mereka tetap tidak mau. Atas kejadian tersebut turunlah ayat :

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah. Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).

Menolong tidak membuat seseorang menjadi miskin. Memberikan orang lain kesempatan tidak sama dengan kehilangan barang yang sangat berharga. Hanya orang yang tidak punya imajinasi saja yang berpendapat begitu. Tidak ada yang miskin dengan menolong. Dan, seringkali terbuka peluang baru yang lebih baik setelah seseorang berbagi peluang yang ada dengan orang lain.

Orang yang tidak mau melepas kesempatan pada orang lain akan kesulitan menjangkau kesempatan yang ada di luar dirinya. Tangannya akan sulit menggapai kesempatan baru karena pada saat yang sama tangan itu harus dipakai memikul, menggendong, dan mengawasi yang telah ada. Secara kodrati, manusia tidak hanya butuh makan, tapi juga perlu buang air.

Allah tidak bohong ketika Dia katakan “Jika engkau syukuri nikmatKu, Aku akan menambahnya. Tapi, jika engkau ingkari, Aku akan menghukummu dengan azab yang pedih” (QS. Ibrahim [14]: 7). Ayat ini dapat dipahami sebagai isyarat bahwa pintu nikmat akan dibuka, dan dibuka lagi, jika seseorang mensyukuri nikmat yang telah ada, menggunakan sebaik-baiknya untuk diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya, jika dia makan sendiri dan tidak menggunakan sesuai ketentuanNya, substansi nikmat itu akan terbang dan meninggalkan kepiluan mendalam bagi yang ditinggal.

Sebagai bangsa yang sedang payah, sangat menyakitkan bila kita coba berdiri di depan cermin. Banyak fenomena kepiluan yang kelihatan di tubuh kita yang semakin kurus dan menghitam. Seringkali terlihat monopoli sumber-sumber kehidupan secara sangat rakus. Malah ada yang berprinsip, daripada kesempatan berusaha dan hidup layak dibagi pada orang lain, lebih baik peluang itu dibiarkan tidak produktif dan terlantar. Masih banyak yang membuang uang dengan membeli barang-barang mewah hanya untuk digudangkan, tanpa mau memberikan sedikit kelapangan pada orang tak punya. Mungkin sangat perlu direnungkan kembali kata orang bijak, “Kemenangan baru terasa sempurna setelah disalami oleh yang kalah, orang berharta baru merasa kaya setelah merayakannya bersama kaum papa”. Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber: Hikmah Republika

Kejujuran

JUJUR PADA ALLAH

Oleh : Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Seringkali kita sangat sedih, karena merasa bahwa Allah semakin menjauhi kita. Banyak persoalan dan beban hidup yang harus ditanggung sendiri. Allah seakan-akan tidak peduli lagi dengan semua itu. Dia membiarkan kita berkubang dalam kesusahan dan, bahkan, terasa semakin menjauhkan kita dari keberhasilan.

Perasaan di atas dialami banyak orang. Sebenarnya, mereka salah menilai dan sangat subyektif. Kesimpulan di atas sangat bertentangan dengan sifat-sifat Allah. Mereka sering dan selalu mempertanyakan sumbangan Allah padanya, tanpa mengkaji apa yang telah mereka lakukan untuk Allah.

Manusia seringkali mengaku tidak punya apa-apa dalam urusan agama. Sebaliknya, mereka berusaha menampilkan diri sebagai orang yang serba ada dalam kehidupan dunia.
Sikap tidak jujur sangat kentara dalam kehidupan beragama. Seseorang dengan enteng mengaku belum mampu pergi menunaikan ibadah haji, padahal dia sudah lebih dari mampu atau sering bepergian dengan biaya yang lebih mahal. Banyak yang mengaku tidak sempat beribadah dengan khusyu’, padahal dia membuang banyak waktu untuk perbuatan tak bermanfaat. Banyak orang merasa tidak bisa menolong orang lain, sedangkan semua tahu dia mampu melakukannya.

Kalau kita mau jujur pada Allah dan mau melakukan ajaran agama-Nya dengan ikhlas, maka Dia akan membalasnya jauh lebih baik dari apa yang kita kerjakan. Kita akan mendapatkan berbagai fasilitas khusus yang tidak diberikan-Nya kepada orang lain. Dalam sebuah hadis Nabi saw. dikatakan :

(Perlakuan)-Ku sesuai dengan dugaan hamba-Ku. Aku bersamanya apabila ia menyebut (nama)-Ku. Bila ia menyebut-Ku di dalam hatinya, Aku menyebutnya di dalam diri-Ku. Bila ia menyebutkan di hadapan khalayak, Aku menyebutnya di depan khalayak yang lebih baik dari khalayak itu. Bila ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan perlahan, Aku datang kepadanya dengan berjalan cepat (berlari). (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ibn Majah).

Kejujuran pada Allah, yang terlihat dalam ketaatan menjalankan perintah-Nya, akan mendatangkan ketentraman jiwa dan kesunyian dari masalah-masalah duniawi. Allah akan memperlakukan dengan sepantasnya orang-orang yang ingin berdekat-dekat dengan-Nya.
Bagi kita yang sering berbohong kepada Allah, karena menganggap Allah seperti manusia yang bisa ditipu, Allah membukakan pintu tobat-Nya. Masih sangat terbuka kesempatan untuk mulai berjujur-jujur dengan Allah. Tidaklah terlambat untuk berubah di hari ini. Bahkan, Allah sangat gembira dengan pertobatan kita. Dalam sebuah hadis disebutkan

Kembalinya (tobatnya) seseorang ke haribaan-Nya menjadikan Allah bergembira melebihi kegembiraan seorang yang telah berputus asa mendapatkan kembali unta yang membawa perbekalannya pada saat ia berada di tengah padang pasir, kemudian dengan serta-merta untanya datang sehingga karena kegembiraannya dia berucap, “Wahai Tuhan, Engkaulah Hambaku dan Aku Tuhan-Mu”. (HR. Muslim, melalui Anas bin Malik).

Allah tidak ingin diduakan dengan yang lain. Dia tidak ingin dimadu dalam pengabdian dan permintaan. Kepadanya menyembah dan kepadanya meminta pertolongan.
Jika tidak jujur, jangan salahkan Allah jika Ia tidak mempedulikan masalah kita. Jangan salahkan Allah melupakan nasib kita, karena Dia sangat mengetahui kita adalah orang-orang seringkali melupakannya, terutama dalam keadaan senang atau mendapat nikmat.

Sumber : Hikmah Republika

DPR Saniangbaka


MEMBENTUK DPR-DPR IWS

Oleh: Dr. ZH Datuk Sinaro Sati, M.Ag.

Substansi ide yang ada dalam tulisan ini hanyalah pengulangan dari apa yang pernah saya munculkan ketika Mubes IV IWS tanggal 11-12 Desember 2002 di kampung yang lalu. Melihat ide tersebut masih di awang-awang dan, menurut saya, masih sangat dibutuhkan maka ada baiknya disuguhkan kembali. Apalagi tidak start pelaksanaan ide ini adalah Mubes IWS, di mana alek tersebut sebentar lagi akan digelar.

Sebenarnya ada beberapa upaya alternatif untuk mengukuhkan eksistensi, kalau tidak bisa disebut menyelesaikan persoalan, IWS di masa mendatang. Tiga di antaranya adalah pemberdayaan sekretariat dengan mengkaryakan seorang sekretaris eksekutif di tiap level pimpinan untuk menjalankan rutinitas organisasi, deelitisasi pimpinan (pimpinan tidak lagi hanya dari kalangan dan keturunan tertentu saja), dan restrukturitasi IWS (perlunya pembaruan struktur kepengurusan IWS). Tanpa mengecilkan arti ide lainnya, saya akan menggunakan kesempatan ini untuk mengetengahkan ide ketiga (restrukturisasi organisasi), karena pembahasan dua ide lainnya memerlukan banyak energi, diskusi dan ketulusan hati. Barangkali pembicaraan ini bisa dikambang leba ketika kita bertemu dalam forum yang lebih luas.

Obesitas (kegemukan) aktifitas personal, pemikiran, anggota, program, dan permasalahan merupakan kendala utama dalam menjalankan roda IWS saat ini. Dapat dibayangkan, misalnya, sebuah DPC IWS mesti memenejemeni hal-hal tersebut di atas untuk seantero Jakarta yang semakin sibuk, luas, padat dan banyak tuntutan. Hal ini menyebabkan tidak sedikitnya “tugas-tugas” IWS yang tidak bisa dilaksanakan sehingga keberadaan IWS semakin mengecil dan menguap dari hadapan warganya. Barangkali ada baik pekerjaan berat ini didelegasikan kepada masing-masing kita sesuai dengan kemampuan dan kesempatan.

Melaksanakan amanah Anggaran Dasar IWS pasal 6 ayat 1 tentang adanya Dewan Pimpinan Rayon (DPR) IWS merupakan jawaban yang bisa dikemukakan untuk persoalan di atas. Di tiap-tiap pusat domisili warga dibentuk dan diaktifkan satu level pimpinan IWS terkecil yang disebut Dewan Pimpinan Rayon (DPR) IWS. Misalnya, untuk wilayah DPC IWS Jakarta, dapat dibentuk DPR IWS Jatinegara, Tanjung Priok, Ciputat, Depok, Tanah Abang, Pasar Minggu, Klender, Cileduk, Pondok Gede, Senen dan sebagainya. Begitu juga dengan DPC-DPC lainnya di seluruh Indonesia. Cara seperti ini juga bisa diberlakukan untuk semua organisasi otonom ekslusif yang ada di lingkungan IWS seperti pemuda, ibu-ibu, dan sebagainya. DPR-DPR inilah yang akan menjawab langsung dan melayani warganya. Dengan demikian, secara struktural, IWS memiliki tiga level pimpinan aktif yaitu DPP, DPC dan DPR.

Paling tidak ada tiga keuntungan yang didapatkan dengan dibentuk dan diaktifkannya DPR-DPR ini. Pertama, akurasi informasi. Wilayah, program kerja dan anggota yang lebih ramping akan memudahkan pengurus IWS untuk melaksanakan sensus warga dengan segala potensi dan dinamikanya secara cepat dan akurat. Data-data yang tepat dan benar ini akan sangat berguna bagi setiap anggota IWS untuk membangun komunikasi dan hubungan keluarga. Dengan demikian, distribusi berbagai informasi, pemungutan iuran, mengarajoan buruk-baik dan sebagainya dapat dilakukan dengan lebih simpel dan cepat. Kita relatif tidak akan menemui lagi alamat-alamat yang sudah kadaluarsa dan persoalan kronis warga yang tidak tersahuti sebab setiap perubahan kondisi warga yang terjadi dapat dipantau secepatnya atau dilaporkan pada masing-masing DPR IWS. Tentu saja masing-masing DPR juga harus punya pusat komunikasi utama yang dapat diakses oleh setiap warganya.

Kedua, adanya pembagian kerja yang jelas. Dengan dibentuknya DPR-DPR IWS, maka pembagian kerja untuk masing-masing level pimpinan dapat dilakukan dengan relatif mudah. Sebagai tingkat pimpinan terbawah, DPR bertugas mengayomi warga secara langsung. Di DPR lah diadakan sensus warga, diskusi, arisan, ta’ziyah, pungutan iuran, pengajian dan pertolongan pertama pada warga. Tugas seperti ini akan lebih bisa dilaksanakan secara baik dan merata oleh DPR dibanding DPC karena ruang lingkupnya yang lebih kecil. Sebagai lapis kedua, DPC bertugas mengkoordinasikan, memantau, menggairahkan dan membimbing DPR yang ada di bawahnya. DPC berdiri paling depan dalam melaksanakan acara serimonial organisasi dan membangun iklim kompetisi sehat antar DPR. DPC juga berfungsi sebagai tempat penyelesaian masalah yang agak berat seperti adanya warga yang mesti disantuni, dinasehati karena adanya penyimpangan prilaku, dan sebagainya. Sementara sebagai top level, disamping melakukan koordinasi umum, DPP bertugas melakukan hubungan ekstenal organisasi dan pengembangan. DPP lah yang bertugas memikirkan adanya sumber potensial ekonomi IWS, memperbaiki citra dan performa IWS di hadapan komunitas dan organisasi lain, baik lokal maupun nasional, dengan mengangkat simbol-simbol formal organisasi.

Ketiga, adanya pusat-pusat pengkaderan pimpinan. Sebagai tingkat terendah dan terkecil, DPR dapat dijadikan sebagai ajang untuk mengasah dan melatih skill memimpin. Karena lingkupnya terbatas, warganya relatif sedikit, tingginya tingkat tolerasi dan saling memahami, maka tidaklah sulit menjadi pimpinan sebuah DPR. Kondisi ini mengantarkan seseorang, bahkan setiap orang, untuk belajar memimpin dan dipimpin dengan baik. Hasilnya, DPR akan memiliki stok handal, cukup berpengalaman dan telah teruji dedikasinya untuk memimpin IWS dalam skala tertentu. Ketika mengangkat pengurus yang lebih tinggi, seperti DPC dan DPP, kita akan lebih dapat mengenali dan menetapkan mereka yang relatif benar-benar berpengalaman, handal dan punya loyalitas karena dia telah dikader di “sekolah-sekolah kepemimpinan” yang bernama Dewan Pimpinan Rayon IWS. Organisasi tercinta ini tidak akan lagi mengangkat seorang pemimpin hanya karena kita mendengar dia dulu-dulunya di waktu kecil pernah aktif di sebuah organisasi, entah dia dulu benar-benar aktif atau hanya sekedar “katanya”. Kita juga akan dapat meminimalisir kesalahan dalam mengangkat pemimpin yang semata-mata hanya karena dia berasal dari keluarga “ningrat” di masyarakat tradisional kita, atau karena dia sudah masuk golongan berkantong tebal, atau karena dia terlihat vokal di forum resmi, atau karena sebab-sebab lain yang sedikit sekali kaitannya dengan skill dan dedikasinya untuk menjadi seorang pemimpin IWS di masa sekarang. Wa-Llahu a’lam bish shawab.

Moral Bangsa


MENGAWAL MORAL BANGSA


Oleh : DR. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rabu (25/7), menyatakan keberatan dan penolakan terhadap draf RUU Perfilman yang diajukan Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Poin utama penolakan ini adalah ditiadakannya sensor terhadap film-film produksi dalam dan luar negeri sebelum diedarkan pada masyarakat. Yang ada hanya pembatasan usia penonton. Menurut Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin, konsekuensi disahkannya RUU tersebut adalah liberalisasi film di Indonesia dan peredaran film-film tanpa sensor itu sangat berbahaya bagi masyarakat. MUI juga meminta pemerintah memperkuat lembaga negara independen dalam penyiaran dan perfilman seperti Lembaga Sensor Film (LSF) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Sepintas, adanya Lembaga Sensor Film (LSF) memang terkesan “mengebiri” kreatifitas dan produktifitas film Indonesia. Film Buruan Cium Gue, Kuldesak dan Pembalasan Ratu Laut Selatan merupakan contoh film yang digunting-gunting lembaga ini. Film-film tersebut dikategorikan tidak layak edar karena dianggap akan berdampak negatif terhadap moral bangsa. Tapi, salahkah LSF atau KPI mengawal moral bangsa ini dengan membuang adegan dan dialog “panas” sebelum sebuah tayangan dihidangkan pada masyarakat? Apakah bebas berkreasi bisa dikatakan hak asasi insan film jika kebebasan tersebut mencelakakan banyak orang?

Kejujuran Sosial
Sebagaimana masyarakat banyak, pengusung draf RUU Perfilman sebenarnya menyadari bahwa bebasnya peredaran film-film lokal dan impor tanpa sensor di masyarakat adalah bahaya besar. Bahaya itulah, menurut draf di atas, yang akan diantisipasi dengan membatasi penonton berdasarkan usianya. Persoalannya, adakah jaminan bahwa aturan pembatasan usia penonton tersebut dapat efektif dan akan ditegakkan sebaik-baiknya?

Pengaturan semacam ini telah diberlakukan di beberapa negara maju seperti Inggris, Jerman, Italia dan Amerika Serikat (AS) dalam konteks pornografi dan pornoaksi. Di AS, misalnya, setiap pengunjung kelab malam diperiksa ID Card/KTP-nya, apakah cukup umur atau belum. Pornografi di media elektronik dan media cetak juga diatur secara ketat. Majalah Playboy tidak bisa didapatkan anak-anak di bawah umur. Film yang berbau pornografi dan pornoaksi di televisi ditayangkan tengah malam. Walau demikian ketat, tetap saja negara-negara tersebut meluncur ke arah revolusi seksual hewani.

Bisakah Indonesia menerapkan aturan pengetatan seperti itu? Secara teori, mungkin pertanyaan ini tidak perlu diajukan karena jawabnya pasti bisa. Tetapi pengalaman membuktikan bahwa kita sering, kalau tidak bisa dikatakan selalu, kebobolan dalam menerapkan pengetatan semacam ini. Banyak aturan hukum yang dapat disiasati, bahkan dengan trik sederhana sekalipun. Seringkali hamba hukum Indonesia ngiler dengan kibasan rupiah. Alhasil, pengajuan syarat-syarat seperti itu seolah-olah hanya alat semata untuk meluluskan sebuah keinginan.

Selanjutnya, mestinya kita jujur terhadap segala realitas yang terpampang jelas di depat mata. Di sekitar kita telah bergelimpangan para korban liberalisasi pornografi dan pornoaksi, padahal mereka mesti menjalani kehidupan yang masih panjang. Jangan dikatakan tidak ada aturan hukum yang memadai untuk mengatasi masalah ini. Kenyataannya? VCD dan DVD porno dijual bebas dan begitu mudah didapat. Akses sejenis juga mudah didapatkan melalui buku komik, internet dan ponsel. Adegan mesum, dalam berbagai kemasan, bergentayangan di televisi pada jam menonton anak dan remaja. Bahkan, para penganjur pergaulan bebas telah mulai menggunakan anak Sekolah Dasar untuk menyajikan “pelajaran” berpacaran dengan segala perniknya di televisi.

Kreatifitas Sehat
Sudah waktunya membuang pikiran bahwa solusi problem perfilman Indonesia adalah liberalisasi film atau kreatifitas tanpa batas atas nama seni. Salah besar jika hanya film yang menjual sensualitas, kesadisan, tahyul dan nyeleneh saja yang sukses di pasaran. Banyak sekali karya etis dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan yang mendatangkan popularitas tanpa batas dan keuntungan material.

Memang perbuatan asusila sangat dikecam dan dipandang rendah. Tetapi, setiap pemikiran dan perbuatan yang dapat melahirkan aksi kebinatangan tidak kalah hinanya. Kecaman terhadap motivator kemaksiatan dan kriminalitas tidak boleh lebih lunak dari hardikan terhadap pelakunya. Agama Islam malahan mengganjar para penyulut kemungkaran, di samping dosa dari pekerjaannya, juga harus menanggung dosa setiap orang yang termotivasi oleh perbuatannya.

Satu keniscayaan, menjaga kualitas moral bangsa tidak hanya kewajiban dan kebutuhan orang yang peduli, tapi setiap orang, termasuk mereka yang menelantarkannya. Sangat mungkin orang yang tidak peduli dengan kualitas moral masyarakat, akan dilingkari orang-orang tidak bermoral yang setiap saat siap menggerogoti kehidupannya. Ini memang pekerjaan yang tidak ringan, tapi setiap kita harus berjihad menegakkannya.

Etika Jalan Raya


BER-ISLAM DI JALAN RAYA


Oleh : Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Ada yang menyebut Juli 2007 sebagai bulan malapetaka bagi pengguna jalan di Indonesia. Apapun sebutannya, yang pasti, baru sampai setengah bulan pertama telah terjadi serentetan kecelakaan dengan banyak korban jiwa. Setelah belasan korban tewas karena bus yang ditumpangi terjun bebas di daerah Puncak, beberapa hari kemudian komedian Taufik Savalas juga meninggal karena kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya ditabrak truk bermuatan semen. Berikutnya ada lagi sebuah bus bertabrakan dengan minibus yang merenggut 11 nyawa.

Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak pihak untuk menekan angka kecelakaan ini. Sebut saja sosialisasi peraturan lalu lintas, menumbuhkan kesadaran taat hukum, penertiban aparat, pembinaan masyarakat dan sebagainya. Namun upaya-upaya tersebut seringkali hanya memberikan hasil sesaat dan kemudian kembali lagi seperti semula. Ketidakikhlasan dalam berkesadaran merupakan sumbu sulitnya “memenej” kecelakaan tersebut. Taat tugas dan hukum hanyalah lip service guna meraih tujuan sesaat.

Saham Publik

Selain kelalaian, baik dalam berkendara maupun dalam perawatan kendaraan, kecelakaan umumnya disebabkan karena ulah mengemudi yang ugal-ugalan, meluncur dengan kecepatan tinggi serta tidak menghiraukan penumpang maupun pengguna jalan lainnya. Seringkali seorang pengemudi menggunakan jalan raya seenaknya tanpa menghiraukan kewajiban-kewajiban minimal yang harus dipenuhinya.

Di samping itu, kecelakaan menjadi akrab dengan keseharian kita lantaran prilaku tidak tegas dan main mata dari aparat yang bertugas. Tidak sedikit orang yang dengan mudah mendapatkan surat izin mengemudi (SIM), sekalipun dia tidak bisa mengemudi dengan benar. Ini sangat berbahaya, apalagi jika dia sopir kendaraan besar. Transaksi uang tidak jarang terjadi ketika pemeriksaan kelaikan kendaraan. Pemeriksaan jarang yang dilakukan dengan tuntas dan segala kekurangan dapat “ditambal” dengan lembaran uang. Inilah awal dari banyaknya kendaraan yang sebetulnya tidak layak jalan, tetapi tetap bisa lalu lalang di jalan raya.

Departemen Perhubungan dan kepolisian merupakan pihak yang sangat berkepentingan dan bertanggung jawab terhadap keselamatan berlalu lintas. Jika mereka keras, tegas dan tidak mempan dengan uang pelicin, sangat besar kemungkinan tingkat kecelakaan akan berkurang. Saat ini, Indonesia termasuk negara dengan tingkat kecelakaan lalu lintas dan korban tertinggi di dunia. Ini sangat memprihatinkan karena nyawa manusia seolah menjadi tak berharga dan jalan raya menjadi kuburan bagi banyak penggunanya.

Masyarakat umum juga memiliki peran yang tidak kecil dalam berbagai kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas. Tidak jarang, dengan dalih ingin praktis, buru-buru, malas mengantri dan tidak peduli dengan peraturan keselamatan lalu lintas, pengguna kendaraan umum memancing terjadinya pelanggaran lalu lintas. Para penumpang lebih suka naik dan turun di sembarang tempat dibandingkan dengan halte yang memang telah disediakan.

Sulaiman dan Semut

Di antara beberapa prinsip Islam dalam konteks ini, ada dua ketentuan utama yang diajarkan oleh al-Qur’an. Pertama, tidak boleh sombong (QS. 31:18). Prilaku ugal-ugalan, suka melanggar rambu lalu lintas dan melaju dengan kecepatan tinggi tanpa kontrol merupakan buah kesombongan. Sifat itu telah menutupi akal sehat sehingga tidak menyadari bahwa semua aturan yang ada merupakan benteng kesalamatan bagi dirinya, juga orang lain.

Ternyata banyak orang yang suka ngebut di jalan raya bukan karena ingin memanfaatkan waktu secara maksimal atau mengejar urusan yang sangat penting. Bagi orang ini, ngebut di jalan raya hanya hobby negatif dan penyaluran bakat yang tidak pada tempatnya. Umumnya mereka banyak menghabiskan waktu sia-sia sebelumnya berangkat atau setelah sampai di tempat yang dituju.

Kedua, menghormati pengguna jalan yang lain. Etika berlalu lintas yang diajarkan al-Qur’an melalui kisah Nabi Sulaiman dengan sekawanan semut dapat dijadikan acuan efektif untuk meredam kecelakaan lalu lintas. Sulaiman dan semut mengajarkan sikap saling berbagi jalan dan saling menghormati. Semut yang sepenuhnya sadar dengan keterbatasannya memberikan Sulaiman kesempatan terlebih dahulu untuk menggunakan jalan. Mendapat penghormatan tersebut, Sulaiman yang seorang raja tidak lantas menginjak semut, tapi berhenti untuk menghormati dan berterima kasih sebelum melanjutkan perjalanan (QS. 27:17-19).

Sikap tidak bisa bersabar dan merasa paling berhak mendapat kesempatan pertama merupakan urat nadi berbagai kecelakaan. Banyak pengendara sepeda motor yang nekad melintasi jalur keteta api, akhirnya tewas, karena merasa berhak lebih dulu dibanding kereta api. Begitu juga dengan banyak kasus serobotan lampu merah traffic light dan mendahului kendaraan yang di depan. Semua prilaku negatif ini selayaknya diganti dengan prinsip pokok Islam di atas. Ber-Islam di jalan raya tidak hanya bisa dilakukan seorang muslim, tapi bisa oleh siapa saja.

Bisnis Pendidikan


MERETAS JERAT BISNIS PENDIDIKAN


Oleh : DR. Zulheldi Hamzah, M.Ag.


Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia. Ilmu dapat mengangkat derajat manusia ke tempat lebih tinggi dan mulia dibanding makhluk Allah yang lainnya. Itulah salah satu rahasia kenapa perintah membawa (iqra’), ujung tombak berburu ilmu, mengawali turunlah seluruh ajaran Islam. Dengan keunggulan ilmu itu juga nabi Adam dapat melumat segala rasa senioritas negatif yang dimiliki para malaikat sehingga mereka respek kepadanya (QS. 2:31-33).


Ilmu yang merupakan kilauan kognitif, afektif dan psikomotorik sangat dibutuhkan manusia dalam hidup. Pengetahuan dapat membuat dimensi manusia menggelembung tak terbatas menembus sekat ruang dan waktu. Kecakapan bersikap menjadikan manusia sebagai makhluk moralis dan santun sehingga mendatangkan rasa aman-damai bagi seluruh makhluk di sekitarnya. Sementara keterampilan dapat mengubah manusia menjadi penakluk dan pemenang terhadap segala tantangan zamannya. Di saat ketiga aspek ini tidak dihidangkan secara seimbang kepada setiap manusia, di situlah awal terjadinya tragedi kemanusiaan.



Bisnis Pendidikan
Belum lama ini, menyikapi pemilihan rektor Universitas Indonesia (UI), mahasiswa menyerukan agar rektor terpilih tidak mengkomersialkan pendidikan. Menurut mereka, pendidikan dan UI merupakan milik semua rakyat, bukan kaum berduit saja. Teriakan ini bukan tanpa alasan. Banyak dari mereka sedang menjerit dihimpit beratnya beban biaya pendidikan. Mereka juga melihat bahwa tingginya biaya masuk akan semakin melemahkan posisi calon mahasiswa kaya potensi-prestasi, tapi miskin finansial, untuk menerobos gerbang UI.


Saat ini, pendidikan sudah menjelma menjadi komoditas yang bernilai jual menjanjikan. Sekolah dan perguruan tinggi telah menjadi semacam badan usaha yang merasa berhak “menjual” jasa pendidikan kepada rakyat sesuai mekanisme pasar. Semakin tinggi permintaan, semakin tinggi pula posisi tawarnya. Pusat-pusat pendidikan favorit semakin tak terdatangi oleh rakyat kebanyakan.


Mungkin realitas di atas masih bisa dimaklumi jika pelakunya hanya lembaga swasta. Tapi, sungguh sulit diterima ketika bisnis pendidikan juga dilakoni lembaga pendidikan pemerintah. Sistem pendidikan mulai menjadikan sekolah sebagai coorporate education yang kental nuansa bisnisnya. Lembaga-lembaga pendidikan pemerintah sedang berbenah menuju sebuah perusahaan bisnis yang siap memburu pemasukan sebanyak-banyaknya untuk “biaya operasional” dan meraup keuntungan.


Sekularisasi kurikulum yang mengiringi hajat di atas telah mempercepat peluncuran pendidikan Indonesia ke arah kekeringan spiritual. Berdalih menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar (lapangan kerja), konsep pendidikan lebih menekankan bagaimana peserta didik menjadi pintar, sukses berbisnis, kompeten dalam teknologi dan bisa mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang banyak. Aspek psikomotorik (keterampilan dan kecakapan kerja) menjadi primadona materi pendidikan karena output-nya telah di-setting sedemikian rupa menjadi sekrup-baut mesin industri modern.


Dibanding kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap dan moral) tertinggal sangat jauh, jika malu mengatakannya dilupakan sama sekali. Pendidikan agama dan moral makin dikebiri dan ditindih habis-habisan oleh pelajaran keterampilan. Materi agama hanya dihadirkan sebagai pelangkap daftar pelajaran. Akibatnya, telinga kita semakin akrab dengan berita tentang keterlibatan pelajar atau mahasiswa dengan tawuran, narkoba, seks bebas, kriminalitas, bunuh diri dan sebagainya.


Back to Basic
Gerak maju pendidikan seseorang seyokyanya seayun dengan kedekatan dan ketakutannya pada Allah (QS. 35:28). Jangan dikira bahwa Allah hanya dapat didekati dengan mendalami materi pelajaran yang berlabel agama (Islam). Allah bisa “ditemukan” dalam semua pelajaran. Dia mempunyai banyak ayat (tanda kebesaran dan kekuasaan) di alam ini. Seorang yang mendalami ilmu fiqih tidak otomatis lebih takwa kepada Allah dibanding dengan yang mendalami biologi, fisika, bahasa dan lainnya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan seorang dokter lebih mampu “melihat” Allah dibandingkan dengan ahli tafsir.


Sejatinya, pendidikan mengangkat derajat seorang manusia ke tempat yang lebih tinggi (QS. 58:11). Pengetahuan, sikap moral dan keterampilan merupakan sayap sempurna yang dapat menerbangkan pemiliknya ke tempat terhormat. Ketiganya harus seimbang, karena masing-masing memiliki peran signifikan dan tidak tergantikan.


Tidak selayaknya orang tua menyerahkan anaknya belajar hanya untuk mendapat limpahan materi. Sangat tidak terpuji jika masih ada guru, apalagi profesor, terlibat berbagai kecurangan dan penipuan. Pengelola pendidikan, apalagi pemerintah, amat “diharamkan” memandang pendidikan sebagai objek bisnis semata, karena ada dimensi lain yang lebih menggiurkan dari sekadar tumpukan rupiah. Satu hal yang pasti, mereka yang terjun dari puncak gunung pendidikan tanpa dilengkapi sayap-sayap yang sempurna hanya akan terjatuh mengenaskan sebelum sampai pada tujuannya.