Islam - Barat


TITIK TEMU ISLAM-BARAT

Oleh: Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Islam dan Barat telah lama hidup dalam kecurigaan, bahkan permusuhan. Sampai saat ini, masih banyak yang berpendapat, bahkan meyakini, bahwa Islam dan Barat merupakan dua “dunia” yang sama sekali berbeda dan tidak mungkin disatukan. Berbagai argumen digunakan untuk terus membenturkan keduanya. Para orientalis klasik yang tidak jujur telah berhasil menanamkan image dalam masyarakat Barat bahwa Islam adalah monster ganas dan tidak manusiawi. Pandangan keliru tersebut semakin diperkental setalah peristiwa “black September” 2001, walau hasilnya tidak selalu merugikan Islam.

Umat Islam juga memiliki gambaran yang tidak kalah kelamnya tentang Barat. Mereka digambarkan sebagai bangsa imperialis yang siap menghisap umat Islam. Segala kerjasama, bahkan uluran tangan, yang ditawarkan Barat sering ditanggapi dengan curiga. Dua persepsi keliru inilah yang sering menjadi pangkal salah paham dan salah aksi Islam dan Barat.

Tanah Barat untuk Islam


Sebenarnya Barat bukanlah lahan gersang dan tandus bagi Islam. Bagaimana pun situasinya, Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Barat. Di Amerika Serikat (AS), negara yang diposisikan sebagai panglima Barat menghadapi Islam, Islam menjadi agama yang berkembang paling cepat. Saat ini, sudah ratusan masjid berdiri kota New York. Hal yang menggembirakan itu juga diikuti oleh Washington dan daerah lainnya. Kondisi ini sangat kontras dengan suasana 70-an, di mana saat itu sangat susah menemukan masjid di kota-kota besar tersebut.

Kehidupan Muslim di AS juga makin membaik. Berdasarkan jajak pendapat dengan 1.050 Muslim dewasa (18-29 tahun), Pew Research Center berkesimpulan bahwa kehidupan muslim AS lebih bahagia dan makmur dibanding muslim di benua Eropa. Hanya dua persen responden yang hidup dalam garis kemiskinan. Bandingkan dengan di Inggris (22 persen), Prancis dan Jerman (18 persen) dan Spanyol (23 persen). Mereka puas dengan kehidupannya dan memiliki pandangan positif terhadap masyarakat di luar komunitasnya. Hal itu terlihat jelas dari jawaban mereka terhadap pertanyaan yang diajukan seputar penghasilan, perlakuan pasca “Black September” 2001, hingga pandangan tentang bom bunuh diri.

Sebagai salah satu negara terkemuka di Eropa, Perancis juga menjadi lahan subur pertumbuhan Islam. Di Lille, sebuah kota di Utara Perancis, telah hadir Perguruan Tinggi Islam pertama di Perancis, yaitu Lembaga Ibn Sina untuk Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Di lembaga yang telah mendapat pengakuan resmi dan mengikuti model pendidikan Perancis-Eropa ini akan diajarkan ilmu-ilmu syariah dan kebudayaan Islam. Menurut Muhammad al-Basyari, Pimpinan Lembaga Ibn Sina, tujuan lembaga ini adalah untuk menjawab segala fobia Islam. Lembaga ini akan menghadirkan gambaran Islam yang sesungguhnya dan utuh, termasuk dalam toleransi dan keterbukaan, sehingga segala salah paham terhadap Islam selama ini dapat dihilangkan.

Take and Give

Perkembangan terakhir menunjukkan mulai munculnya kesadaran “hidup bertetangga” di kalangan Barat dan Islam. Di Barat mulai muncul kajian objektif tentang Islam sehingga sosok Islam yang disajikan mulai menyejukkan. Robert N. Bellah, misalnya, mengakui bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad adalah masyarakat sangat maju dan demokratis di masanya. Begitu juga Karen Armstrong yang berhasil mengangkat Nabi Muhammad sebagai sosok agung dan suci, bukan orang gila dan suka perempuan seperti yang ada di benak kebanyakan masyarakat Barat selama ini.

Berbagai kalangan Islam juga mulai menyadari kekeliruannya. Sebagai manusia yang juga dibekali potensi fitrah, Barat kaya dengan “nilai Islami”. Ketika kembali dari Eropa, Muhammad Abduh mengatakan, “Saya menemukan Islam di Eropa, tapi tidak ada Muslim. Sedangkan di Mesir, Saya menemukan Muslim, tapi tidak ada Islam.” Barat juga memiliki budaya yang bernilai luhur tinggi. Mereka dikenal sangat disiplin, sopan di jalan raya, menghargai waktu, tapat janji, suka kerja keras, peduli hak manusia dan cinta lingkungan. Semua ini sesuai dengan ajaran Islam, tapi tidak jarang ditelantarkan oleh Muslim sendiri.

Ketangguhan lembaga keluarga Muslim juga bisa dijadikan solusi bagi keroposnya ikatan perkawinan di Barat. Fenomena revolusi seks yang hewani, mudah kawin cerai, kumpul kebo, pernikahan sejenis dan berbagai penyakit berkeluarga lainnya yang diidap Barat dapat diobati dengan mengadopsi norma berkeluarga dalam Islam. Kekaguman Barat terhadap keluarga Muslim ini juga bisa dijadikan pintu masuk untuk lebih mengenal Islam.

Hubungan Islam-Barat harus diluruskan. Barat tidak perlu lagi curiga terhadap Islam, begitu juga Muslim. Barat memang memiliki prinsip moral yang seringkali tidak sesuai dengan Islam, tapi bukan berarti tidak ada dari mereka yang patut diteladani. Kemajuan ilmu dan teknologi merupakan salah satu khazanah Barat yang harus dipelajari dan “diambil” umat Islam untuk mengejar ketertinggalannya. Inilah salah satu kewajiban jihad terdepan umat Islam saat ini.

Dakwah dengan Cinta


Oleh : Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Islam adalah agama tauhid yang membawa kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan hidup dunia dan akhirat. Islam dianut, tumbuh dan menjadi besar bukan dengan paksaan dan kekerasan politik, melainkan dengan dakwah yang damai, bijaksana dan santun. Namun, belakangan ini citra Islam sebagai agama santun tercoreng karena ulah segelintir orang yang tak sabar, frustasi dan memilih jalan kekerasan dalam ber-nahi munkar.

Globalisasi dan kemajuan dunia modern telah mempertemukan banyak manusia dengan berbagai kepentingan, ideologi, etnis dan politik. Ini merupakan wilayah dan tantangan dakwah Islam yang tak dapat dihindari. Tentu saja tantangan ini harus direspon dengan dakwah yang bijaksana, simpati, santun dan teladan yang baik. Jika Islam disebarkan dengan caci maki, permusuhan dan paksaan, maka Islam akan kehilangan rahmatnya.

Etika Nahi Munkar

Kata “dakwah” diambil dari da'a-yad’u (memanggil, menyeru, mengajak, berdoa). Secara umum, kata ini diartikan dengan panggilan, seruan atau ajakan untuk menyeru manusia mengakui kebesaran Allah serta perlunya hidup berlandaskan peraturan yang ditetapkan berlandaskan Quran dan Sunnah. Syeikh Ali Makhfuz mengartikan dakwah dengan mendorong manusia agar berbuat baik dan mengikuti petunjuk, menyeru berbuat kebajikan dan melarang perbuatan munkar agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an menjelaskan bahwa substansi dakwah adalah amar ma’rûf nahi munkar. Dakwah merupakan upaya maksimal agar manusia mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhkan diri dari yang dilarang-Nya.

Imam Ghazali menjelaskan tingkatan dalam nahi munkar. Pertama, memberi penjelasan, sebab adakalanya seseorang melakukan kemunkaran karena tidak tahu. Setelah diberitahu, mungkin ia akan meninggalkannya. Kedua, melarang berbuat kemunkaran dengan memberi nasehat yang baik dan menakut-nakuti akan siksa Allah. Ketiga, melarang dengan tegas tetapi tetap menghindari kata-kata kasar (tidak sopan). Keempat, menggunakan kekuasaan. Dalam tahap ini, Ghazali melegalkan melakukan tindakan fisik, tetapi harus dilakukan oleh aparat negara. Semua kegiatan pemusnahan fasilitas kemunkaran juga harus berdasarkan pertimbangan hukum yang diputuskan oleh aparat berwenang. Karena itu, eksekusi semacam ini yang dilakukan sekelompok orang, brigade, laskar dan sebagainya yang tidak berwenang adalah sebuah kesalahan.

Oleh sebab itu, Ghazali memberikan batasan kesopanan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang melakukan nahi munkar. Pertama, berilmu. Ia mengetahui hal-hal yang harus diperjuangkan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Kedua, ikhlas. Orang yang melakukannya hanya semata-mata untuk agama dan memperoleh keridaan Allah. Ketiga, berbudi baik sehingga bisa bersikap sopan, lemah lembut dan ramah kepada siapa pun, terutama orang yang hendak diinsafkan.

Rasul Mencintai “Umatnya”

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di sebuah sudut pasar kota Madinah selalu mangkal seorang pengemis Yahudi yang buta. Setiap ada yang mendekatinya, ia selalu berkata "Wahai saudaraku, jangan engkau dekati Muhammad yang mengaku sebagai Rasul itu. Dia gila, pembohong dan tukang sihir. Jika kamu mendekatinya, dia akan mempengaruhimu". Walau begitu busuk hati dan perbuatan pengemis itu, setiap pagi Rasulullah membawakannya makanan. Tanpa berkata, beliau menyuapi pengemis itu. Rasulullah melakukan hal itu hingga wafat. Setelah itu, tidak ada lagi orang yang melakukan hal itu.

Ketika Abu Bakar berkunjung ke rumah Aisyah, beliau bertanya, "Wahai anakku, adakah sunnah Rasul yang belum aku kerjakan?" Aisyah menjawab, "Ayah seorang ahli sunnah yang hampir semua Rasul ayah lakukan, kecuali satu hal, di mana setiap pagi Rasul pergi membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta di pasar itu", kata Aisyah. Keesokannya Abu Bakar mendatangi dan memberikan makanan kepada pengemis itu. Ketika mulai menyuapi, pengemis marah, "Siapa kamu?" Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa”. "Engkau bukan orang yang biasa. Dengan orang itu, tanganku tidak susah memegang dan mulutku tidak susah mengunyah. Orang itu selalu menghaluskan makanan sebelum menyuapkannya kepadaku”, kata pengemis.

Abu Bakar tak kuas menahan air mata dan berkata, “Aku memang bukan orang yang biasa datang. Orang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah”. Setelah mendengar cerita Abu Bakar, pengemis menangis dan berkata, “Benarkah? Selama ini aku selalu menghina dan memfitnahnya, tapi ia tidak pernah marah. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ia begitu mulia”. Pengemis Yahudi itu akhirnya masuk Islam.

Itulah salah satu bentuk keindahan dan keagungan dakwah Rasul. Beliau membalas kebencian dan cercaan dengan dakwah nyata yang didasari cinta dan kasih sayang. Akhirnya, kebekuan hati seorang kafir menjadi lunak karena terus disiram air cinta. Ini sebuah teladan yang sangat dibutuhkan saat ini, ketika Islam seringkali dilekatkan dengan kekerasan dan sadisme. Inilah salah bentuk jihad untuk menghadapi orang kafir yang tidak kalah beratnya dengan perjuangan bersenjata.

Memerangi Buta Huruf


MEMERANGI BUTA HURUF

Oleh: Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Islam adalah agama kaum “intelektual”, dalam arti sangat tidak menginginkan ada di antara umatnya yang bodoh. Iqra’ atau perintah membaca adalah kata pertama dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad. Kata ini sangat penting sehingga diulang dua kali dalam rangkaian wahyu pertama tersebut. Perintah ini tidak hanya ditujukan pada Nabi semata, tapi seluruh umat manusia di sepanjang sejarah kemanusiaan, karena realisasi perintah tersebut merupakan kunci segala keberhasilan.

Karena itu, sangat ironis jika umat Islam, baik di negara Islam atau negara yang penduduknya mayoritas muslim, hidup dalam kebodohan. Iqra yang maknanya di sekitar menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya sebenarnya dapat dijadikan sebagai pintu menuju masyarakat intelektual tersebut.

Buta Huruf di Indonesia

Berbagai hasil penelitian telah dipublikasikan untuk menggambarkan banyaknya rakyat Indonesia yang buta huruf. Data di Depdiknas, misalnya, ada sekitar 15 juta orang Indonesia yang hingga kini masih masih buta huruf (Republika 08/05/2007). Menurut Mendiknas, Prof Bambang Sudibyo, Jawa Timur menduduki peringkat pertama dengan 29,02 persen, disusul Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.

Penyakit ini cukup merata dalam masyarakat Indonesia, baik daerah yang masuk kategori tertinggal maupun daerah perkotaan. Menurut hasil pendataan Pemerintahan Kota Depok tahun lalu, di daerah ini terdapat 21.236 orang buta huruf. Sementara itu, Wakil Kepala Dinas Pendidikan provinsi Papua, James Modouw, menyatakan dari 2,5 juta penduduk provinsi Papua, 36 persen atau sekitar 400.000 orang buta huruf, naik cukup tinggi dari tahun 2000 yang “hanya” sekitar 300.000 orang.

Secara umum, ada tiga faktor yang “melestarikan” buta huruf dan menghalangi pemberantasannya. Pertama, jumlah sekolah yang tidak sesuai kebutuhan. Masih banyak daerah kantong tuna aksara yang tidak memiliki gedung sekolah atau cukup jauh sekolah terdekat. Masalah ini diperparah dengan tidak adanya rehabilitasi gedung-gedung yang telah rusak sehingga sekolah tersebut mati dengan sendirinya. Di Wonosobo, misalnya, ada gedung SD yang telah roboh 1980 diterjang angin ribut tidak pernah diperbaiki lagi sampai sekarang.

Kedua, masalah ekonomi. Banyak anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu tidak bisa sekolah karena harus membantu orang tua. Misalnya, di Musirawas Sumatera Selatan, kasus anak-anak buta huruf banyak disebabkan karena mereka harus membantu bekerja di perkebunan sawit dan karet. Ketiga, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kemampuan membaca, terutama orang dewasa.

Islam Memberantas Buta Huruf

Jika mengacu pada al-Qur’an, tidak selayaknya rakyat Indonesia, yang mayoritas muslim, mengalami masalah buta huruf. Al-Qur’an menyebutkan, sekalipun dalam keadaan perang, harus ada orang-orang yang tetap tekun mununtut ilmu, terutama ilmu agama (QS. 9:122). Pekerjaan ini merupakan jihad.

Ayat di atas diawali dengan istilah mâ kâna, yang berarti tidak pernah ada, atau tidak sepatutnya. Menurut salah satu pendapat, istilah mâ kâna biasanya digunakan untuk menekankan sesuatu dengan sungguh-sungguh dan menafikan kemampuan melakukan pekerjaan lain tanpa adanya sesuatu tersebut. Dengan demikian, ayat ini menekankan secara sungguh-sungguh untuk menuntut ilmu dan menafikan kemampuan untuk melakukan jihad di medan perang tanpa adanya di antara muslim yang tinggal memperdalam ilmu. Jika makna ini diperluas, dapat dikatakan bahwa kemampuan umat untuk melakukan jihad dalam bentuk apapun akan berkurang, bahkan hilang sama sekali, tanpa didukung oleh penguasaa ilmu pengetahuan.

Barangkali inilah salah satu rahasia kenapa perintah iqra’ diturunkan pertama kali. Membaca merupakan syarat utama membangun peradaban. Sejarah manusia, secara umum, dibagi pada dua periode utama, yaitu sebelum penemuan tulis baca dan sesudahnya. Dengan ditemukannya tulis baca, peradaban manusia telah berhasil melahirkan tidak kurang dari 27 peradaban, seja peradaban Sumaria sampai peradaban Amerika masa kini. Orang-orang yang datang belakangan mempelajari peradaban yang lalu dari apa yang ditulis para pendahulunya. Manusia tidak lagi memulai dari nol.

Dengan demikian, umat Islam Indonesia seharusnya berada di barisan terdepan dalam jihad memberantas buta huruf. Ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, mendorong, mengawasi dan membantu pemerintah untuk lebih serius memberantas buta huruf. Anggaran pendidikan harus ditingkatkan sesuai amanat konstitusi. Sudah seharusnya ditinggalkan upaya setengah hati, seperti sebuah Pemda yang “hanya” menyediakan dana Rp. 640 juta dari Rp. 1,1 milyar yang dibutuhkan. Kedua, aktif bersama seluruh masyarakat menanggulangi masalah ini, baik pribadi, ormas maupun parpol. Institusi bisnis yang melibatkan orang buta huruf juga harus didorong untuk memfasilitasi para buta huruf tersebut untuk belajar. Ini merupakan jihad yang tidak kalah nilainya di sisi Allah dari perang pisik menghadapi musuh Islam.


Islam di Rusia




Oleh : Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.


Dibanding era komunis, Muslim Rusia sudah boleh tersenyum saat ini. Pemerintahan Federasi Rusia agaknya mulai apresiatif. Pertama kalinya dalam sejarah, seorang pemimpin Rusia memasukkan menteri Muslim dalam kabinetnya dan mengakui eksistensi Muslim Rusia. Presiden Vladimir Putin terlihat serius melirik Islam dengan hadir pada acara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Malaysia (2003), yang akhirnya menjadi peninjau tetap, dan memprakarsai terbentuknya Alliance of Civilization Rusia-Islam lewat pertemuan 27-28 Maret 2006 dengan tokoh Islam dari 15 negara.


Bahkan, Rusia mengakui kemenangan Hamas pada Pemilu Palestina dan Putin sempat ‘menegur’ Paus Benediktus XVI karena pidatonya yang menuding Islam dan Nabi Muhammad di Jerman. Rusia memandang dunia Islam sebagai kekuatan signifikan dan dapat menjadi mitra dalam mewujudkan tatanan dunia baru yang damai, adil dan beradab. Prof Sychev Victor, seorang ahli Indonesia asal Rusia, juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai perdamaian. Dia menolak Islam dikaitkan dengan terorisme karena itu hanyalah ulah segelintir orang dengan mengatasnamakan Islam.


Sejarah Panjang


Berbeda dengan Muslim negara lain di Eropa, yang umumnya imigran, hadirnya Islam di Rusia memiliki sejarah sangat panjang. Islam masuk ke Rusia (Dagestan dan Kaukasus utara) pada pertengahan kedua abad ke-7 M. Abad ke10, Islam telah menjadi agama resmi bangsa Tatar. Ketika etnis Rusia yang Kristen berkuasa, wilayah Muslim mulai diduduki. Bahkan, pada pertengahan abad ke-18, Muslim Rusia tidak dibolehkan melakukan aktivitas keagamaan, membangun masjid dan sekolah. Meletusnya revolusi komunis 1917 memunculkan situasi yang sangat buruk bagi semua pemeluk agama, terutama Muslim, yang berujung pada pemberantasan agama sejak 1927.

Meskipun sangat dihalangi semasa komunis, akar budaya dan sejarah Islam tidak pernah tercabut. Momentum reformasi ekonomi dan sosial, sampai keruntuhan Uni Sovyet, dimanfaatkan Muslim Rusia untuk menata kembali keberagamaannya. Saat ini, Muslim Rusia merupakan komunitas Muslim terbesar di Eropa. Mereka berasal dari 40 etnis dan berjumlah sekitar 20 juta (15 persen dari 142 juta penduduk Rusia). Di samping Muslim keturunan, banyak di antara mereka yang muallaf. Bahkan, 60 persen pemeluk baru adalah etnis Rusia yang sebelumnya tidak beragama apapun.


Di samping faktor imigrasi dari wilayah Utara Kaukasus dan Asia Tengah, pertambahan populasi Muslim juga dipicu oleh krisis kependudukan di kalangan etnis Rusia yang menyebabkan penurunan populasi 700.000 orang pertahun. Inilah yang menimbulkan kekhawatiran, terutama kalangan Kristen ortodoks, bahwa mereka akan menjadi minoritas dan kehilangan identitas Rusianya. Jika trend ini terus berlanjut, diperkirakan populasi Muslim dalam 30 tahun mendatang bisa melebihi etnis Rusia. Bahkan, Muslim akan menjadi mayoritas di dinas ketentaraan Rusia.


Tuanya Islam di Rusia inilah yang membuahkan banyak karya emas Islam diproduksi dan ‘terkubur’ di sana. Di perpustakaan negara Petersburg, masih bisa dijumpai naskah kuno al-Quran tulisan tangan dengan seratus versi khat Arab, kumpulan naskah karya para ulama Kurdistan, risalah filosof Islam setempat, ensiklopedia filsafat Ibnu Sina (Uzbekistan), karya al-Farabi (Azerbaijan) dan mushaf al-Quran mini sebesar korek api (hadiah Syah Iran Abbas Agung pada salah seorang putra Kaisar Rusia). Di Perpustakaan Lembaga Orientologi Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Moskow juga banyak ditemukan naskah keagamaan, hukum, tata negara dan ilmu pengetahuan yang berasal dari negara Islam tempo dulu.


Peluang Masa Depan


Represi puluhan tahun di era komunis telah membuat Muslim Rusia terisolasi dari ilmu dan pengamalan Islam, terutama generasi muda. Walau tetap bangga sebagai Muslim, pengenalan Islam yang hanya sebatas nama sangat membatasi gerak Muslim dalam menggapai kesempurnaan Islam. Semua ini menuntut kerja ekstra sampai tersedianya pendidikan Islam yang layak dan sarana ibadah yang representatif.

Dengan sumber daya manusianya cukup besar (sekitar 1,5 miliar jiwa, hampir seperempat popualsi dunia), Presiden Putin akan sulit mengabaikan Muslim. Apalagi populasi Muslim Rusia paling banyak di Eropa. Sumber kekayaan alam dunia Islam (minyak, hutan dan gas) yang masih banyak belum tergali juga akan menjadi pertimbangan Rusia untuk tetap bersikap manis pada Islam. Semua kartu truf ini juga harus dimanfaatkan dengan baik oleh Muslim Rusia.
Tapi, agaknya Putin masih alergi terhadap Muslim ‘garis keras’ seperti Muslim Chechen. Dia lebih welcome terhadap Muslim moderat seperti Muslim Tatar dan Asia Tengah. Indikasi ini hendaknya membuat Muslim Rusia lebih arif dalam bersikap. Tanpa mengorbankan tujuan utama Islam, ada baiknya Muslim Rusia belajar dari sejarah ketika untuk pertama kalinya Islam menaklukkan Tatar di Barat Rusia. Ide-ide universalnya seperti keadilan, persaudaraan, anti kezaliman dan cinta ilmu telah memenangkannya dalam merebut hati masyarakat Rusia.

Dakwah Internet

BERDAKWAH MELALUI INTERNET

Oleh : Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Sudah sangat jelas bahwa misi utama diutusnya Muhammad sebagai Rasul adalah untuk membangun peradaban dunia, yang dalam konteks mikronya adalah menyempurnakan akhlak manusia (li utammima makarim al-ahkhlaq). Itulah yang menimbulkan kecintaan dan kekaguman masyarakat dunia kepada sosok Nabi Muhammad, tidak hanya dari kalangan umat Islam, melainkan juga para pemerhati dan tokoh sejarawan masyhur yang berasal dari lintas agama.

Dakwah, yakni dimaknai dengan mengajak manusia agar berbuat kebajikan dan melarang berbuat munkar agar mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, memainkan peranan signifikan dalam upaya besar ini. Pola sosial masyarakat Madinah yang sangat mempresentasikan masyarakat beradab dan modern di masanya, merupakan hasil nyata dakwah Nabi. Dakwah telah membuahkan keikhlasan ber-Tuhan, penegakan hukum serta format masyarakat madani yang egaliter, berilmu pengetahuan, menghargai pluralitas dan demokratis sehingga menjadikan Madinah sebagai kota berperadaban terdepan dibanding belahan bumi lain ketika itu.

Era Internet

Sejak dulu para aktivitis dakwah telah menggunakan berbagai media untuk menjalankan tugasnya. Banyak yang berhasil menjadikan produk teknologi terkini di setiap zamannya untuk menunjang kegiatan dakwah. Flesibelitas inilah yang membuat dakwah sangat familiar dengan mesin cetak, radio, televisi dan media lainnya. Itulah yang seharusnya dilakukan. Sebab, bagaimana mungkin membangun peradaban dunia jika media dakwah Islam tertinggal jauh dibandingkan dengan media ‘dakwah’ yang merusak keadaban manusia.

Kemajuan teknologi informasi berupa internet sangat patut menjadi perhatian umat Islam saat. Internet telah menjadi sebuah perpustakaan raksasa yang di dalamnya terdapat jutaan artikel, buku, jurnal, kliping berita, foto dan lain-lain dalam bentuk media elektronik. Orang bisa ‘berkunjung’ ke perpustakaan tersebut kapan saja dan dari mana saja. Bagi yang suka berbelanja, internet merupakan sebuah shopping centre terbesar di dunia. Dengan panduan mesin pencari seperti Google, pengguna di seluruh dunia mempunyai akses yang mudah atas bermacam informasi.

Dengan realitas tersebut, internet sebenarnya memberikan peluang sangat baik kepada pendakwah untuk ber-amar ma’ruf nabi munkar. Sayangnya, karena berbagai sebab, internet belum tergarap secara maksimal sebagai alat dakwah. Para pendakwah dan cendiakiawan Muslim belum maksimal memanfaatkan teknologi ini untuk kepentingan dakwah. Agaknya, sosialisasi internet di kalangan ulama dan pemikir Islam perlu mendapatkan prioritas dalam menggalakkan dakwah Islam.

Sangat Menjanjikan

Jika dicermati lebih jauh, sebenarnya internet merupakan media dakwah masa kini yang sangat menjanjikan. Walau agak terlambat, karena ‘dakwah’ konsumerisme, liberalisme, ateisme, pornografi dan sebagainya telah lama menggunakan internet, dakwah Islam tetap memiliki peluang untuk sukses di ladang ini. Penggunaan website, blog dan lainnya diyakini mampu memberikan nafas baru pada dunia dakwah.

Dakwah Islam di internet menjadi sangat luar biasa, masif dan progresif karena berpotensi ‘didengarkan’ oleh jutaan, bahkan milyaran manusia di seluruh dunia. Sekarang, jutaan orang di berbagai belahan bumi ini sudah saling terhubung melalui media internet. Mereka bisa mengakses materi dakwah kapan dan di mana saja. Kesempatan untuk mencari bahan pembanding seperti membaca buku, mengakses materi lain dan berdialog sambil ‘mendengarkan’ dakwah internet, sangat memungkinkan setiap materi dakwah akan dikunyah lebih sempurna sebelum ditelan atau dibuang.

Keistimewaan lainnya adalah banyaknya audiens dari kalangan non-Muslim. Setiap non-Muslim di dunia ini memiliki kesempatan yang sama, bahkan dibanding seorang Muslim sekalipun, untuk ‘mendengarkan’ dakwah Islam dengan memasuki ‘masjid’ internet. Dakwah lintas agama ini, di samping bisa diefektifkan untuk memperkenalkan Islam, juga dapat menjadi sarana untuk menghilangkan salah paham yang telah bersemi selama ini. Internet juga memungkinkan pendakwah untuk menjelaskan secara langsung ajaran Islam kepada orang yang selama ini banyak menentang dan menyerang Islam.

Kemampuan internet yang interaktif juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk ‘berdiskusi’ secara langsung. Berbagai persoalan rumit akan dapat ‘dibicarakan’ secara berkala dan tuntas, termasuk dengan non-muslim. Orang-orang yang selama ini sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak punya banyak waktu untuk ke masjid atau membaca buku dapat berkomunikasi langsung dengan ulama melalui internet. Begitu juga dengan mereka yang selama ini terisolasi dari gema dakwah Islam konvensional selama ini.

Barangkali itulah yang menjadikan beberapa ulama Islam kaliber dunia seperti Yusuf al-Qaradhawi, Wahbah al-Zuhayli, Muhammad Said Ramadan al-Buty dan lain-lain melirik media ini. Sekalipun berada di belahan bumi yang berbeda, tokoh-tokoh ini tetap berkesempatan memberikan pandangan dan fatwa terhadap berbagai persoalan umat Islam dan dunia.

Dakwah Go Internasional


DAKWAH GO INTERNASIONAL

Oleh: Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Peristiwa serangan 9 September 2001 yang meluluhlantakkan menara kembar World Trade Center di New York dan sebagaian markas Pentagon telah menjadi titik kulminasi gerakan pencitraan negatif terhadap Islam. Sekalipun Islamofobia telah menancap kuat di hati sebagian masyarakat Barat sejak Abad Pertengahan, namun tragedi di atas semakin “meyakinkan” Barat bahwa Islam adalah agamanya kaum teroris.

Akibatnya, banyak umat Islam yang mengeluhkan banyak diskriminasi yang diberlakukan non-Muslim terhadap Islam dan penganutnya. Dalam beberapa kasus keimigrasian, misalnya, perlakuan yang “berbeda” acapkali diterima seorang Muslim hanya karena status keislamannya. Tidak sedikit Muslim yang gagal menembus “ketatnya” standar sekuritas bandara sebagian negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris dan Belanda. Begitu juga dengan banyaknya Muslim tak berdosa yang ditahan dan disiksa tanpa alasan yang jelas.

Keterbatasan Informasi

Umat Islam tidak seharusnya terburu-buru menyalahkan negara Barat yang over-protecting terhadap keselamatan warganya. Sebenarnya reaksi “wajar” karena, berdasarkan berbagai informasi dan “dakwah” yang sampai kepada mereka, Islam dan Muslim merupakan bahaya besar. Sangat banyak keterbatasan, bahkan pemutarbalikan, informasi yang dikonsumsi masyarakat Barat sehari-hari tentang Islam. Tidak sedikit non-Muslim di dunia ini yang memahami Islam dari sumber yang salah karena keterbatasan mereka mengakses sumber Islam yang benar.

Sebagai bukti, beberapa waktu yang lalu, Selasa (26/6), Sarah Malik, seorang aktivis Jaringan Advokasi Hak-hak Sipil Muslim Australia, mengungkapkan bahwa selama ini warga Australia sangat kekurangan informasi tentang perkembangan dan karakter Islam di Indonesia. Selama ini, mereka hanya mengetahui informasi tentang Muslim Indonesia dari media Barat. Akibatnya, di mata publik Australia, Islam Indonesia umumnya dipersepsikan sebagai Islam yang radikal dan represif. Banyaknya kasus bom di Indonesia dan penangkapan para tersangka teroris yang teridentifikasi sebagai Muslim Indonesia merupakan “fakta” yang digunakan untuk membenarkan citra ini. Termasuk pemberlakuan hukum syari’ah di Aceh yang dimaknai sebagai keinginan menerapkan syari’ah Islam di Indonesia secara institusional.

Tidak sedikit kasus sejenis terjadi di tempat lain, terutama negara-negara Barat. Persoalannya, kenapa Barat yang lebih aktif dan banyak “mendakwahkan” Islam kepada dunia? Apakah perbedaan agama dan kultur membuat umat Islam merasa tidak berkewajiban menyampaikan informasi yang benar tentang Islam kepada seluruh penghuni bumi ini? Satu hal yang pasti, ketidakmampuan dakwah Islam menembus sekat-sekat agama, budaya dan bangsa telah menciptakan titik kristis misunderstanding terhadap Islam.

Dakwah Lintas Batas

Untuk menghapus citra negatif di atas, umat Islam harus lebih intens memperkenal diri dan agamanya kepada dunia. Semua orang harus diberitahu bahwa Islam tidaklah seperti kepingan-kepingan informasi yang telah dipaksakan masuk ke otak mereka. Islam adalah agama damai dan sangat care terhadap kemanusiaan. Fenomena keberagamaan Islam yang sesungguhnya secara konsep dan realitas harus menjadi isu penting yang terus digelorakan ke seluruh penjuru dunia untuk melabrak stigmatisasi Islam sebagai agama horor.

Suatu keharusan bagi umat Islam untuk menguasai teknologi terbaru guna mengkomunikasikan semua fakta Islam kepada dunia. Dakwah Islam harus bisa bergerak seayun dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Internet, salah satu teknologi terbaru yang banyak dipakai berbagai kalangan, harus bisa dioptimalkan untuk menjelaskan kebenaran Islam. Dakwah Islam yang selama ini lebih dominan disampaikan melalui lisan dan tulisan di dunia nyata harus diperkuat dan diperlebar melalui mimbar maya.

Internet bisa diefektifkan sebagai kendaraan alternatif dalam dakwah kontemporer. Weblog, cara baru di era internet, bisa dipakai untuk mengekspresikan segala ide, masalah, informasi dan segala bentuk apresiasi terhadap kemolekan Islam. Umat Islam harus pandai memanfaatkan geliat sebagian masyarakat Barat yang mulai tertarik pada Islam dengan makin maraknya diskusi tentang keislaman. Ketertarikan mereka itu tentunya bisa lebih dikukuhkan dengan informasi akurat tentang Islam. Umat Islam harus meluruskan segala salah paham dengan menyebarluaskan nilai dan ajaran Islam yang benar melalui dakwah, baik di podium, media cetak, maupun internet.

Satu hal pokok, menginformasikan ajaran Islam secara akurat dan bijak tentu akan lebih menarik daripada dengan cara-cara kasar dan kekerasan. Para pendakwah hari ini sangat dituntut untuk bisa merealisasikan sebuah nasihat bijaksana bahwa kemampuan menyajikan secara baik dan tepat tidak kalah pentingnya dengan apa yang disajikan. Kekerasan atas nama dakwah Islam hanyalah akan semakin mencoreng citra Islam dan membuat non-Muslim tambah menjauhinya.

Partai Islam

AGAR PARTAI ISLAM MENJADI BESAR

Oleh: Muhammad Qodari
Direktur Eksekutif Indo Barometer, Jakarta

Pengamat politik Indonesia dari Australian National University (ANU), Greg Fealy, menyatakan pesimistis terhadap prospek partai Islam atau partai berbasis massa Islam dalam Pemilu 2009 yang akan datang. Pesimisme Greg Fealy ini menarik karena kontras dengan target yang telah dicanangkan aneka partai Islam.

PKS, misalnya, menargetkan angka 20 persen semenjak tahun 2005 yang lalu. PPP mencanangkan 15 persen pada Juni 2007 lalu, sementara PAN mengincar 18, 2 persen pada April 2006. Yang paling fenomenal dari semua partai Islam adalah target PKB seperti dinyatakan Gus Dur. Gus Dur menargetkan perolehan suara PKB sebesar 61 persen.

Target-target yang dipasang partai-partai Islam sejauh ini memang jauh dari hasil-hasil survei beberapa lembaga. Survei Indo Barometer Desember 2007, misalnya, menunjukkan komposisi suara PDIP 25,3 persen, Golkar 18 persen, Demokrat 13,8 persen, PKB 7,5 persen, PKS 5,2 persen, PPP 3,5 persen, PAN 3,4 persen, partai lainnya 6 persen, dan 17,7 persen tidak menjawab atau belum memutuskan.

Hasil survei Desember 2007 itu memiliki persamaan dengan sejumlah survei sebelumnya. Pertama, tujuh partai dengan suara terbesar masih identik dengan tujuh partai terbesar pemilu 2004. Artinya, partai Islam baru seperti PKNU dan PMB belum masuk hitungan. Kedua, Demokrat adalah satu-satunya partai yang hasil surveinya selalu di atas perolehan suara pemilu 2004.

Partai-partai yang lain semuanya mengalami fluktuasi. Khusus partai Islam, tren umum angka mereka disurvei lebih rendah dari perolehan 2004. Ketiga, jajaran tiga besar selalu didominasi oleh partai 'nasionalis' (PDIP, Golkar, dan Demokrat) dan bukan partai-partai Islam atau berbasis massa Islam.

Dengan realitas politik seperti ini, sesungguhnya apa yang harus dilakukan partai Islam agar jadi partai besar? Pertama, menjual program-program kerja yang sesuai dengan kebutuhan publik luas. Menurut aneka survei, ternyata yang dibutuhkan masyarakat adalah program-program terkait masalah pengangguran dan ketersediaan sembako dengan harga yang terjangkau.

Melihat hal ini, untuk bisa besar partai-partai Islam tidak bisa berjualan syariat Islam atau negara Islam. Apalagi ada survei yang menunjukkan bahwa 85 persen pemilih Muslim menganggap Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan agama Islam dan hanya 3,5 persen yang menganggapnya tidak sejalan (LSI, Oktober 2006).

Kedua, melahirkan atau merekrut tokoh partai yang sangat populer di masyarakat. Populer di sini artinya dikenal oleh seluruh masyarakat, disukai oleh mayoritas, dan memiliki potensi elektabiliti yang tinggi dalam pilpres. Berdasarkan pengalaman 1999 dan 2004 serta aneka studi yang ada, ternyata di Indonesia faktor kesukaan atau identifikasi terhadap tokoh partai ini merupakan variabel yang paling mampu mendongrak suara partai dalam waktu singkat.

Kasus yang paling nyata tampak pada Partai Demokrat. Ketika ikut Pemilu 2004, Demokrat baru berusia dua tahun. Namun, perolehannya langsung melejit ke angka 7,5 persen. Bandingkan dengan PAN yang sudah berusia enam tahun, tetapi hanya memperoleh enam persen dalam Pemilu 2004.

Dampak dari variabel tokoh ini semakin nyata bila kita bandingkan usia Demokrat dengan Muhammadiyah, organisasi massa Islam yang dianggap menjadi basis massa PAN, yang notabene telah berdiri semenjak 90 tahun yang lalu. Peran dari tokoh itu semakin tampak ketika dilakukan survei dukungan partai pada awal tahun 2005.

Mungkin karena euforia kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam survei tersebut Demokrat melejit menjadi partai yang paling banyak dipilih (24 persen). Bahkan, ketika popularitas Pemerintahan SBY menurun pada masa sekarang ini, dukungan terhadap Demokrat telah meningkat dua kali lipat dibanding 2004.

Kita belum tahu pasti berapa perolehan suara Demokrat dalam pemilu tahun depan. Namun, jelas teori 'determinisme tokoh' berlaku dalam politik elektoral Indonesia masa kini.

Ketiga, citra partai yang positif dan kuat di masyarakat. Karena pasar politik begitu ramai dan masyarakat membutuhkan shortcut untuk mengingat partai, citra yang melekat pada partai tertentu sangatlah membantu dalam kompetisi pemilu. Itulah mungkin yang menjadi salah satu alasan mengapa PDIP menjadi partai yang sekarang paling populer di Indonesia.

Di satu sisi, pilihannya sebagai partai oposisi membuatnya menjadi kontras dengan partai lain dan pemerintah berkuasa. Di sisi lain, hal ini mengembalikan citra PDIP sebelumnya sebagai partainya wong cilik.

PKS sebagai salah satu partai baru termasuk partai yang pernah diuntungkan oleh citra politik dan politik citra yang baik. Pada periode 1999-2004, PKS berhasil membangun reputasi sebagai partai yang bersih dan peduli. Pada periode 2004-2009 citra ini masih perlu dipertahankan, baik karena kebutuhan objektif partai dan masyarakat maupun alasan strategi pemasaran di mana kedua citra ini merupakan kompetensi inti dari PKS. Namun, di sisi lain PKS perlu membangun citra lain untuk memperluas pasar sekaligus menghindari stigmatisasi politik oleh lawan.

Citra itu misalnya profesional untuk membangun kepercayaan bahwa PKS mampu memegang amanat pemerintahan atau terbuka untuk menghilangkan hambatan psikologis dari orang-orang yang simpati pada citra bersih, peduli, dan profesional dari PKS, tetapi tidak jadi memilih PKS karena takut PKS akan menjadi 'taliban ala Indonesia' kalau menang pemilu. Pilihan menjadi partai terbuka tidak menjamin PKS untuk mencapai target 20 persen.

Namun, pilihan itu menjadi prasyarat dasar bagi PKS untuk bisa menjangkau pemilih yang lebih luas dari sekarang. Survei yang dilakukan LSI pada Oktober 2007 menunjukkan bahwa pada pada tahun 2006 sebanyak 1,5 persen responden mengaku menjadi anggota aktif dan tidak aktif dari PKS. Jika pemilih Muslim Indonesia ada 130 juta maka angka 1,5 persen itu sama dengan 1,95 juta orang. Pada 2007 angka itu menjadi 2,2 persen atau setara dengan 2,86 juta orang.

Angka-angka itu menunjukkan bahwa jika PKS hanya berkonsentrasi pada aktifisnya yang pernah mengaji (ikut mentoring agama di kampus yang dikenal sebagai usrah, liqa, atau tarbiyah), maka suara PKS akan sangat terbatas. Pada periode 1999-2004 PKS besar bukan karena identitas keislamannya, melainkan identitas moral yang universal.

Fakta bahwa suara PKS sampai akhir 2007 masih jauh dari target 20 persen, bahkan mengalami penurunan, mengundang pertanyaan. Jangan-jangan hal ini terkait dengan makin berkembangnya pencitraan PKS sebagai partai yang eksklusif, bahkan taliban.

Akhirnya, memang tidak mudah bagi partai-partai partai-partai Islam untuk bisa menjadi partai besar seperi dulu pernah dicapai oleh Masyumi dalam Pemilu 1955. Namun, syarat dan peta jalan ke arah tujuan itu sebetulnya telah dapat diidentifikasi dan dipahami. Apakah partai Islam mau mengadopsi dan melakukannya? Umat menyaksikan dari sekarang sampai 2009.

Sumber: Republika, Kamis, 21 Februari 2008

Yahudi, Islam Liberal

YAHUDI DAN ISLAM LIBERAL
Oleh: Nur Faizin Muhith (Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Al-Azhar, Kairo)

Liberalisme adalah suatu kepercayaan tentang nilai-nilai kebebasan individu dengan intervensi minimal dari negara dalam kehidupan pribadi. Liberalisme adalah teori kontrak sosial yang menyatakan atau menegaskan bahwa otoritas politik secara orsinil tersusun dari kebebasan dan rasionalitas individu sebagai media untuk memadukan kebebasan dengan hasil-hasil kerja sama sosial.

Dalam sejarahnya sebagai gagasan, liberalisme berhubungan dengan gagasan kebebasan (liberty) atau pembebasan (liberation) karena esensi gagasan liberalisme adalah untuk menuju pembebasan. Dengan demikian, liberalisme mengekspresikan spirit manusia sebagai individu.
'Man is born to free' adalah asumsi dasar para pemikir liberal. Dalam artikulasinya, liberalisme menjadi sebuah keyakinan, filsafat, dan gerakan yang memegang teguh kebebasan sebagai sebuah metode dan kebijakan, sebuah prinsip yang terorganisasi dalam masyarakat dan menjadi jalan hidup bagi individu maupun komunitas (Ida Rohmawati, 2004).

Yahudi liberal
Liberalisme juga merambah pola hidup keberagamaan menghadapi akselerasi perubahan atas tuntutan globalisasi dan moderinitas. Dengan demikian, kata liberal akhirnya juga menjadi dan dijadikan sebuah atribut gerakan keagamaan, di antaranya gerakan keberagamaan dalam agama Yahudi dan juga Islam.

Kemunculan Yahudi liberal (Liberal Judaism) adalah karena kegelisahan sekelompok Yahudi atas kegagalan gerakan pembaharuan keagamaan yang dilakukan gerakan Yahudi reformis belum dapat mencapai cita-cita reformasi yang diharapkan dan hanya menyentuh isu-isu luar, bukan menyeselaikan problem-problem yang sebenarnya. Dengan liberalisme ini, mereka ingin memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut.

Gerakan Yahudi liberal muncul pada tahun 1902 M, persis ketika dirilisnya Persatuan Keagamaan Yahudi yang kemudian berkembang menjadi Persatuan Yahudi Liberal. Gerakan Yahudi liberal mucul di Inggris pada tahun-tahun pertama abad ke-20, perkembangan yang dipelopori oleh Laely Montagu (1873-1963) dan Claude Montefiore (1851-1938), seorang agamawan Yahudi yang terpengaruh oleh salah seorang pemikir Kristen liberal di Oxford, Benjamin G (Al-Masiriy: 1999).

Misi dari gerakan mengupayakan agar dasar-dasar ajaran agama Yahudi dapat sesuai dengan nilai-nilai zaman pencerahan Eropa (enlightement) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Mereka berharap untuk menyesuaikan agamanya dengan masyarakat modern.
Kaum Yahudi liberal juga percaya bahwa kitab-kitab Yahudi (Hebrew Scripture), termasuk Taurat, adalah upaya manusia untuk memahami kehendak Tuhan. Karena itu, mereka menggunakan kitab-kitab itu sebagai titik awal dalam pengambilan keputusan. Mereka pun sadar akan kemungkinan kesalahan kitab mereka dan menghargai nilai-nilai pengetahuan di luar kitab agam mereka (Adian Husaini: 2007).

Titik tolak Yahudi liberal adalah wujud manusia dan kebutuhan-kebutuhannya (humanis), bukan lagi mempermasalahkan akidah (teosentris). Tidak heran jika mereka menganggap old statement sebagai ijtihad manusia dan bukan wahyu Tuhan. Mereka mengembangkan ide-ide pencerahan dan berhukum kepada hati nurani: kebaikan dan kesalehan harus dinilai dengan ukuran nurani yang tercerahkan dan bukannya dengan tolak ukur wahyu lagi.

Istilah Yahudi liberal juga sering digunakan untuk menunjukkan gerakan Yahudi progersif dan juga Yahudi reformis. Ketiga istilah itu seakan menjadi istilah yang satu meskipun titik tekan pada semangat pembaharuan dan reformasi lebih radikal di dalam gerakan Yahudi liberal dan kadang juga untuk gerakan pembaharuan yang sedikit masih berpegang kepada tradisi, sementara Yahudi progresif sering digunakan untuk gerakan pembaharuan secara umum (Al-Masiriy: 1999)

Islam liberalTidak jauh dengan Liberal Judaism adalah gerakan yang dinamakan atau menamakan dirinya dengan gerakan Islam liberal, baik secara individual maupun kelompok. Berangkat dari semangat pembaharuan dan keinginan membawa Islam agar selalu relevan dengan zaman modern yang berubah maju begitu cepat, gerakan Islam liberal muncul. Selain itu, ada semacam keyakinan bahwa Allah SWT akan mengutus mujaddid pembaharu setiap tahun, baik pembaharuannya bersifat individu maupun kolektif.

Istilah Islam liberal sebenarnya sudah dikenal beberapa dasawarsa yang lalu meskipun tidak secara tegas menyandangkan kata Islam di belakangnya. Albert Honnani pada tahun 1960-an dalam karyanya yang berjudul Arabic Thought in The Liberal Age memperkenalkan istilah Islam liberal untuk menunjukkan suatu ragam pemikiran yang berkembang di dunia Islam (Ida Rohmawati: 2004).

Sementara secara tegas, orang yang menggunakan istilah liberal Islam (Islam liberal) adalah Charles Khurzman pada tahun 1998 melalui bukunya Liberal Islam: A Sourcebook. Sebelum Khurzman, juga sudah ada Leonardo Binder yang juga berbicara tentang Islam liberal dalam bukunya Islamic Liberalisme di mana dia berusaha memetakan tokoh-tokoh yang dianggapnya liberal.

Seorang sarjana hukum dari India, Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), juga ikut memopulerkan Islam liberal. Dia menulis: ''Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya (gerakan pemikiran), marilah kita sebut itu Islam liberal.'' (Charlez Khurzman: 1998).

Islam liberal secara umum memiliki agenda, antara lain untuk menentang sistem pemerintahan teokrasi dan mendukung demokrasi, meneguhkan hak-hak perempuan atau gerakan feminisme, membela hak-hak non-Muslim (termasuk juga aliran-aliran sempalan), mengembangkan kebebasan berpikir, dan serempak menyuarakan gagasan-gagasan tentang kemajuan dan progresivitas.

Dengan semangat yang berlebihan, mereka memusuhi semua pemikiran teosentris dan berkeinginan menegakkan nilai-nilai humanisme meskipun sering mengorbankan keyakinan dan kepercayaan yang sudah lama mapan dan diyakini kebenarannya. Mereka juga berusaha membuka kembali seluruh pintu ijtihad yang sempat 'tertutup'.

Dalam penerapan ajaran-ajaran Islam, mereka mendahulukan subtansi sebuah syariat daripada tatanan tekstual yang secara jelas sudah dijelaskan dalam Alquran maupun Hadis. Mereka mengakui bahwa kebenaran bersifat relatif, inklusif, dan akomodatif. Mereka mendukung minoritas, siapa pun dan bagaimana pun mereka. Kebebasan memilih agama atau bahkan tidak beragama sekalipun (ateis) bisa mereka terima. Mereka sekularisasi secara menyeluruh dan komprehensif.

Bila diteliti lebih jauh, ada atau bahkan banyak sekali kesamaan-kesamaan antara Yahudi liberal dan Islam liberal. Paling tidak keduanya adalah berangkat dari misi asumsif untuk melakukan reformasi dan peremajaan wacana-wacana keagamaan agar disesuaikan dengan modernitas.

Sumber: Republika, Sabtu, 16 Februari 2008

Palestina

Palestina Makin Sulit

Arif Suyoko
Pengamat Sosial, Tinggal di Riyadh, Arab Saudi

Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tanggal 3 Februari 2008 menyatakan kekecewaannya atas kegagalan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjalankan tanggung jawabnya mengatasi persoalan hak-hak asasi manusia yang menimpa warga Palestina di Jalur Gaza. OKI selanjutnya juga mendesak masyarakat internasional untuk segera bertindak melindungi rakyat Palestina di wilayah yang diduduki Israel.

Sikap OKI tersebut merupakan hasil pertemuan darurat yang dihadiri oleh para anggotanya di Jeddah baru-baru ini. Hal tersebut merupakan reaksi keprihatinan terhadap nasib rakyat Palestina terutama yang berada di wilayah Jalur Gaza yang menderita kekurangan bahan makanan akibat blokade wilayah tersebut oleh Israel.

Drama menyedihkan tentang perjuangan warga Palestina di Jalur Gaza untuk mendapatkan bahan makanan terjadi pada tanggal 23 Januari 2008 ketika mereka merobohkan pagar perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir. Ribuan warga Palestina menyeberang ke Mesir untuk belanja bahan-bahan makanan. Mesir pun membiarkan warga Palestina belanja di negaranya. Namun, kemudian Mesir menutup kembali pagar perbatasannya dan mengunci kembali warga Palestina di Jalur Gaza.

Persoalan di atas terjadi karena aksi blokade Israel terhadap wilayah Jalur Gaza. Meski demikian, yang justru menyedihkan adalah kondisi ini juga terjadi akibat friksi dan perseteruan antara faksi-faksi di tubuh para pejuang Palestina, yakni antara kelompok Fatah dan kelompok Hamas.

Friksi di atas dimulai dengan kemenangan Hamas dalam pemilihan umum Palestina tahun 2006. Namun, kemenangan Hamas tersebut tidak disukai oleh Israel dan Barat (Amerika Serikat). Israel dan Barat menganggap Hamas sebagai kelompok teroris. Oleh karena itu, Israel dan AS berusaha menciptakan suasana dan kondisi konfrontatif antara dua kelompok utama perjuangan Palestina tersebut. Perseteruan ini menjerumuskan mereka ke dalam konflik bersenjata, saling membunuh sesama pejuang Palestina.

Kondisi di atas mendorong negara-negara di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, untuk berusaha menyatukan kembali kelompok perjuangan Palestina yang berseteru. Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud mengundang para pemimpin perjuangan Palestina untuk melakukan perundingan rekonsiliasi dan konsolidasi di Makkah. Hasilnya adalah tercapainya kesepakatan pembentukan pemerintahan persatuan Palestina pada tanggal 8 Februari 2007.

Namun, ketika upaya tindak lanjut pembentukan pemerintahan persatuan tersebut sedang dilakukan, Israel dan pendukungnya di Barat terus memojokkan Hamas. Sayangnya hal ini justru kemudian mendorong perpecahan dan pertumpahan darah kembali di antara para pendukung Hamas dan Fatah. Kedua kelompok tersebut akhirnya pecah, Hamas menguasai wilayah Gaza dan Fatah menguasai wilayah Tepi Barat, dua wilayah Palestina yang dipisahkan oleh wilayah yang dikuasai Israel.

Menjepit perjuangan Palestina
Penderitaan bangsa Palestina di Jalur Gaza pada khususnya dan rakyat Palestina pada umumnya tidak terlepas dari rumitnya situasi yang harus mereka hadapi sekarang ini dalam perjuangan mereka melawan pendudukan Israel. Paling tidak ada empat front sulit yang harus mereka hadapi, yaitu internal Palestina sebagaimana dijelaskan di atas, Palestina vis a vis Israel, sikap negara-negara Arab, dan sikap Amerika Serikat.

Perpecahan internal kelompok perjuangan Palestina telah memperlemah kesatuan mereka menghadapi Israel. Kondisi ini sebenarnya sangat dikehendaki oleh Israel dan tampaknya memang telah dirancang oleh mereka. Dengan merontokkan persatuan kelompok-kelompok perjuangan Palestina, Israel berhasil menciptakan suasana yang mendorong warga Palestina keluar dari wilayah yang didiami mereka untuk kemudian dikuasai oleh Israel. Dengan demikian diharapkan seluruh warga Palestina terusir dari wilayah mereka.

Upaya untuk mencengkeram wilayah yang ditinggalkan oleh warga Palestina akibat diusir oleh Israel terbukti dengan rencana pembangunan 40 ribu unit apartemen bagi permukiman warga Israel di wilayah Yerusalem Timur. Yerusalem Timur adalah wilayah Palestina yang dianeksasi oleh Israel setelah kemenangan Perang Enam Hari tahun 1967.

Dengan referensi buku The Israel Lobby and US Foreign Policy yang ditulis oleh John J Mearsheimer dan Stephen M Walt (2007), maka aksi Israel di atas dapat dibaca dengan jelas ke mana arahnya. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kelompok neokonservatif Yahudi yang saat ini menguasai arah kebijakan Pemerintahan Israel maupun kebijakan luar negeri AS tidak menginginkan berdirinya negara Palestina berdampingan dengan negara Israel. Yang mereka inginkan adalah penguasaan seluruh wilayah Palestina dari Jalur Gaza sampai Laut Mati dan Sungai Jordan, bahkan sampai ke Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang dikuasai Israel.

Yang juga memprihatinkan adalah minimnya tanggapan dan reaksi serius dari negara-negara Arab/Islam terhadap kondisi yang dihadapi oleh warga Palestina saat ini. Reaksi OKI di atas pun muncul setelah sekian lama warga Palestina di Jalur Gaza mengalami kekurangan bahan makanan. Sikap lambannya OKI adalah cerminan sikap bangsa-bangsa Arab/Islam terhadap nasib rakyat Palestina.

Lebih tidak terdengar lagi adalah sikap Barat terutama Amerika Serikat, bahkan PBB dalam menghadapi situasi di Jalur Gaza ini. Demikian juga dengan media massa Barat diam saja.

Ketika berkunjung ke Israel, Presiden AS George Bush pada tanggal 10 Januari 2008 mendesak Israel untuk mundur dari wilayah pendudukan dan segera maju ke meja perundingan guna mencapai persetujuan damai dengan Palestina. Namun, pernyataan tersebut hanyalah retorika untuk menyenangkan pihak Arab karena setelah dari Israel, Presiden Bush akan meneruskan lawatannya ke beberapa negara Arab termasuk Arab Saudi. Pernyataan Presiden Bush tersebut bahkan kontradiktif dengan keputusannya untuk memberikan bantuan smart bombs ke Israel.

Pengamat Timur Tengah tidak yakin dengan tindak lanjut upaya perdamaian yang dilakukan oleh AS, apalagi oleh Presiden George Bush yang akan segera mengakhiri masa jabatannya. Dalam buku The Israel Lobby and US Foreign Policy di atas sangat gamblang dijelaskan bagaimana lobi-lobi Yahudi di AS membuat Pemerintah AS tidak berdaya mengambil inisiatif ataupun mendesak Israel untuk melakukan perdamaian dengan Palestina, terlebih lagi untuk mendorong berdirinya negara Palestina.

Masa depan sulit
Melihat kondisi di atas, tampak jelas bahwa masa depan perjuangan bangsa Palestina untuk meraih berdirinya negara Palestina semakin sulit. Hal tersebut semakin dipersulit dengan memperhatikan faktor kekuatan militer Israel yang semakin unggul, apalagi dengan penguasaan senjata pemusnah massal nuklir oleh negara tersebut. Hal ini pun tampaknya disadari benar oleh para pemimpin negara-negara Arab. Terlihat kecenderungan mereka menghindari sikap konfrontatif dengan Israel maupun Amerika Serikat, pendukung utama Israel.

Tidak ada acara lain untuk memperkuat perjuangan bangsa Palestina kecuali dengan cara klasik, yakni hendaknya para pemimpin Palestina sadar akan strategi besar jangka panjang Israel untuk menguasai seluruh wilayah Palestina dengan cara devide et impera. Apabila strategi tersebut berhasil, pada akhirnya mereka semua, warga Palestina, akan terusir dari negaranya. Karena itu, mereka harus menyadari hal ini dan kembali bersatu.

Demikian juga untuk negara-negara Arab, mereka harus merapatkan barisannya kalau hendak serius membantu perjuangan bangsa Palestina. Namun, konfrontasi militer dengan Israel sekarang ini bukan pilihan yang menguntungkan. Diperlukan inisiatif-inisiatif baru untuk menggiring dan menyadarkan semua pihak akan arti pentingnya perdamaian Israel dan Palestina bagi kedua bangsa tersebut maupun bagi Timur Tengah dan dunia internasional, terutama bagi AS.

Ikhtisar
- Tanggapan dan reaksi serius dari negara-negara Arab/Islam terhadap kondisi warga Palestina sangat lamban dan minim.
- Friksi internal di Palestina memperparah nasib rakyat Palestina.
- AS terbukti selalu menjadi penyokong Israel untuk mencaplok Palestina.

( )

Sumber: Republika, Jumat, 08 Februari 2008

Orang Kecil


MEMPERLAKUKAN ORANG KECIL
Oleh: Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Abu Dzar pernah beriringan dan berpakaian sama dengan budaknya। Di tengah jalan, seseorang bertanya, ''Kenapa kamu berjalan seiring dan berpenampilan sama dengan budakmu?''
Abu Dzar menjawab, ''Saya pernah mendengar Rasul bersabda, 'Budakmu adalah saudaramu। Allah menjadikannya sebagai tanggung jawabmu. Jika seseorang memiliki saudara, hendaklah dia memberinya makanan dari apa yang dia makan, pakaian dari apa yang dia pakai, dan tidak membebani dengan pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakannya. Jika terpaksa, hendaklah dia membantunya'.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Budak-budak yang ada di zaman Islam sangat dihargai dan ditempatkan pada posisi terhormat। Di samping diberi peluang dan dibantu untuk merdeka, budak diberi kesempatan yang sama dalam beribadah, menuntut ilmu, berjihad, menjaga kehormatan, dan sebagainya। Makanya, banyak budak yang meraih prestasi gemilang setelah kedatangan Islam.

Secara hukum, budak sudah tidak ada। Tapi dalam realitas harian, masih banyak 'orang-orang kecil' yang diperlakukan seperti budak, bahkan lebih hina. Tidak sedikit buruh dipekerjakan tanpa upah mamadai, wanita dipaksa melacur, manusia diperdagangkan, pembantu yang disiksa sepuas hati, dan bawahan dieksploitasi.

Mencari sosok Abu Dzar di zaman sekarang sangatlah jarang, namun bukan berarti tidak ada। Memang, sangat langka seorang majikan atau bos yang mau menegur dan peduli terhadap hal-hal di luar pekerjaan, apalagi bersikap seperti Abu Dzar, namun bukan berarti kita tidak bisa bersikap demikian.

Ini memang pekerjaan berat। Alquran menyebutnya jalan terjal dan mendaki yang tidak banyak ditempuh orang. ''Maka, tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki itu? (yaitu) memerdekakan budak, pemberian makanan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim yang punya hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.'' (QS Al Balad [90]: 11-16).

Saat ini, tidaklah susah menemukan orang-orang kecil। Mereka ada di sekitar rumah kita, di lingkungan kerja, atau bahkan di rumah kita sendiri। Mereka sangat mungkin orang yang tiap hari kita peras keringatnya, kita ambil tenaganya, kita rapuhkan tulangnya, kita hitamkan kulitnya, serta kita serahkan urusan kasar, kotor, dan berbahaya padanya. Perlakukanlah mereka dengan patut, karena semua itu merupakan salah satu standar perlakuan Allah terhadap kita.

Sumber: Hikmah Republika, 18 Januari 2008

Tragedi Keilmuan

TRAGEDI KEILMUAN DI UIN JAKARTA
Oleh: Adian Husaini

Majalah Gatra edisi 23 Januari 2008 lalu memuat sebuah berita yang sebenarnya terlalu penting untuk dilewatkan. Judulnya: ”Jembatan Ayat Keras dan Lunak.” Berita itu menceritakan seputar kontroversi isi disertasi Abd. Moqsith, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan disertasi yang diuji pada 13 Desember 2007 itu, maka Abd Moqsith – yang suka menambah namanya menjadi Abd Moqsith Ghazali – dinyatakan oleh UIN Jakarta telah berhak menyandang gelar Doktor dalam bidang Ilmu Tafsir Al-Quran.

Disertasi Abd Moqsith yang berjudul, ”Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat Beragama” dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A (Dirjen Bimas Islam dan guru besar ilmu tafsir di UIN Jakarta) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta). Bertindak sebagai penguji adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra (Ketua Sidang dan juga Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Zainun Kamal dan Prof. Dr. Salman Harun.

Melihat tema yang dibahas dalam disertasi Abd. Moqsith tersebut, harusnya para ahli tafsir di Indonesia tertarik untuk menyimaknya. Apalagi kasus ini sudah terangkat di media massa. Namun, faktanya, respon terhadap disertasi itu sepertinya dingin-dingin saja. Padahal, ini menyangkut masalah Al-Quran, kalam Allah, dan penafsirannya.

Menurut Gatra, disertasi ini memadukan tiga metode; tafsir maudhu’i (tematik), hermeneutika, dan ushul fikih. Tafsir maudhu’i untuk mengelompokkan kata kunci. Karena tafsir model ini kerap terjebak mengisolasi teks dan konteks, maka, dilengkapilah dengan hermeneutika. Motode ini berfungsi menemukan pesan universal ayat dengan memperhatikan kondisi objektif masyarakat tempat lahirnya ayat. Karena hermeneutika tak mampu menjangkau analisis dan kalimat dari sudut gramatika, dilengkapilah dengan ushul fikih. Ushul fikih membantu mengetahui kedudukan ayat serta bagaimana mesti dipahami sudut dalalat-nya (penunjukkan makna).

Dalam konklusinya, Moqsith menjembatani ayat toleran dan intoleran dengan membuat kategori ayat ushul (pokok) dan fushul (cabang, rinci). Ayat toleran disebut ushul, bersifat dan berlaku universal. Ayat ushul ini menunjukkan sikap teologis Al Quran. Sementara itu kelompok ayat intoleran adalah ayat fushul, yang bersifat situasional. Implementasi ayat fushul, misalnya ayat perang, harus tetap dengan naungan ayat ushul, misalnya prinsip tiada paksaan beragama. Maka perang tetap dengan etika, terlarang merusak tempat ibadah, membunuh kaum perempuan dan memaksa lawan masuk Islam.

“Disertasi ini telah melakukan terobosan, “ puji Prod Dr. Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang memimpin sidang ujian terbuka. “Kekuatan disertasi ini terletak pada penguasaan yang dalam terhadap khazanah Islam klasik, “ Azyumardi menambahkan. “Banyak orang bicara toleransi, tapi tak banyak yang punya sumber bacaan kuat dalam literatur klasik.”

Pembimbing disertasi ini, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, memuji disertasi ini telah mengungkap banyak informasi baru dalam literatur berbahasa Indonesia, seputar tema relasi antar-agama. Meski dalam literatur Arab hal itu terhitung barang lama. Sementara kritik panjang datang dari Prof. Dr. Salman Harun. Konon baru kali ini di UIN Jakarta ada penguji yang sampai membuat kritik tertulis ketika menguji. Salman menyebut Moqsith salah memahami penggalan buku Nawawi Al-Jawi (1813-1899) tentang bisa tidaknya non-muslim masuk surga. Moqsith dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir (1300-1373). Menurut Salman, dua ulama itu berkesimpulan hanya Muslim yang masuk surga. Tapi Moqsith menyimpulkan, non muslim juga bisa. Salman khawatir disertasi ini akan memperkuat tuduhan sebagian kalangan bahwa UIN adalah tempat kristenisasi.

Demikian petikan berita Majalah Gatra seputar kontroversi disertasi doktor Abd Moqsith. Di berbagai media internet, banyak ditemukan puji-pujian terhadap Abd Moqsith.
Karena ini menyangkut bidang keilmuan Islam, khususnya bidang Ilmu Tafsir Al-Quran, maka saya pun tertarik untuk membaca disertasi tersebut. Kita dituntut untuk bersikap adil dalam menilai segala sesuatu, meskipun dengan orang yang berbeda pendapat. Jika memang pendapatnya benar, maka harus diterima. Jika memang keliru, maka perlu diluruskan.
Jika ditelaah, disertasi Abd Moqsith itu cukup tebal, lebih dari 300 halaman. Referensinya juga cukup kaya. Bahasanya pun enak di baca, mengalir lancar. Tampak, penulisnya adalah seorang yang cukup profesional dalam olah kata. Tanpa menafikan sejumlah kelebihan disertasi ini, jika kita telaah secara mendalam, ditemukan sejumlah problema yang sangat mendasar, yang seharusnya menjadi perhatian para pembimbing dan penguji, sebelum disertasi ini diluluskan.
Disebutkan, tujuan penulisan disertasi ini adalah (1) mengetahui pandangan dan sikap Al-Quran tentang pluralitas umat beragama, (2) mengetahui tafsir yang diberikan para ulama terhadap teks-teks yang terkait dengan pluralitas umat beragama, dan (3) menyusun tafsir ayat-ayat Al-Quran yang lebih relevan dengan konteks zaman yang semakin plural dari sudut agama, terutama mengontekstualisasikan ayat-ayat Al-Quran yang secara literal-skripturalistik berseberangan dengan semangat toleransi dan penghargaan terhadap umat agama lain.
Dari tujuan ketiga itulah, kita sudah bisa menangkap maksud penulis disertasi ini. Dalam bahasa mudahnya, penulis disertasi ini ”membuat tafsir baru” atau”merekayasa penafsiran” ayat-ayat yang dianggapnya ”tidak toleran”, ”tidak pluralis”, atau ”kurang menghargai agama lain”. Untuk ayat-ayat seperti ini, penulis berusaha sekuat tenaga, keluar dari makna teksnya, dan mencari-cari makna lain. Tetapi, untuk ayat-ayat yang dianggapnya pluralis, maka penulis disertasi ini mati-matian menggunakan metode tekstual-skripturalistik yang kaku.

Ini bisa dilihat, misalnya, ketika penulis membahas tentang ”Pengakuan dan Keselamatan Umat non-Muslim”, maka dia sudah membuat asumsi: ”Agama yang satu tak membatalkan agama yang lain, karena setiap agama lahir dalam konteks historis dan tantangannya sendiri. Walau begitu, semua agama terutama yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik mengarah pada tujuan yang sama, yakni kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Dengan memperhatikan kesamaan tujuan ini, perbedaan eksoterik agama-agama mestinya tak perlu dirisaukan.” (hal. 189).

Penulis liberal ini lalu mengutip sejumlah ayat Al-Quran yang dikatakannya merupakan bukti pengakuan Al-Quran terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam, seperti QS 5:44, 46-47, dan 66. Lalu, dia membuat kesimpulan sendiri:

”Ayat tersebut memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan, sekiranya mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik. Dengan demikian, jelas bahwa Islam tak memaksa agar mereka menjadikan Al-Quran sebagai rujukan kaum Yahudi dan Nashrani. Inilah bentuk pengakuan terbuka dari Islam terhadap agama lain. Bagi umat Islam, percaya terhadap kitab-kitab Allah menjadi bagian dari enam rukun iman dalam Islam. Sekurangnya, umat Islam mengimani empat kitab Allah, yaitu Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Quran.” (hal. 191).

Kita sebenarnya geli membaca kesimpulan penulis disertasi ini. Terlalu mudah untuk melihat kelemahan kesimpulan tersebut. Al-Quran memang memerintahkan umat Islam beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Allah. Tetapi, Al-Quran juga menjelaskan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah mengubah-ubah (melakukan tahrif) kitab mereka sendiri.

Misalnya, QS 2:75 menyebutkan: ”Apakah kamu masih mengharapkan mereka beriman kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.” Juga, disebutkan dalam QS 2:79: ”Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ”Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.”

Karena itulah, jelas umat Islam saat ini tidak diwajibkan untuk beriman kepada Bibel Yahudi, Talmud, atau Bibel Kristen. Sebab, dalam pandangan Al-Quran, kitab-kitab suci para Nabi itu sudah diubah-ubah oleh sebagian pengikutnya, sehingga bercampur aduk antara yang asli dengan yang tambahan. Mestinya, penulis disertasi ini dengan jujur mengungkap ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dan mestinya pula, para profesor UIN yang menguji disertasi itu juga melihat kekeliruan yang sangat mendasar ini.

Tapi, karena sejak awal, disertasi ini ditulis untuk ”mengakal-akali Al-Quran” agar sesuai dengan asumsi-asumsinya, maka fakta-fakta semacam ini bisa dijumpai di banyak bagian lainnya. Misalnya, asumsi penulis yang menyatakan: ”secara eksplisit Al-Quran menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani, Sabi’in, dan lain-lain – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan segala jerih payahnya.” (hal. 192).

Dalam beberapa kali catatan, kita sudah membahas makna QS 2:62 dan 5:69, dan bagaimana kaum Pluralis berusaha memanipulasi makna ayat ini. Termasuk bagaimana mereka memanipulasi pendapat para ulama, terutama Tafsir al-Manar. Dalam disertasinya ini, penulis lebih vulgar lagi dalam membuat kesimpulan, dengan berpegang kepada bunyi teks ayat itu dan menafikan penafsiran para ulama. Katanya:

”Jika diperhatikan dengan seksama, maka jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti bunyi harafiah ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dalam keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal shaleh – sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan Al-Quran. Muhammad Rasyid Ridla berkata, tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi Muhammad.” (hal. 194-195).

Membaca kesimpulan penulis liberal ini pun kita dibuat geli dan sekaligus prihatin. Biasanya kaum liberal selalu menyebut kaum fundamentalis sebagai kaum tekstualis, literalis, skripturalis, dan sebagainya. Tapi, ketika mereka bertemu dengan ayat Al-Quran yang mendukung pendapat mereka, ternyata mereka pun berpegang pada metode literalis. Cara ini mengingatkan kita pada cara negara-negara tertentu yang rajin meneriakkan demokrasi. Tapi, ketika demokrasi menghasilkan penguasa yang tidak sejalan dengan politik mereka, maka mereka pun menolak demokrasi dan mendukung kediktatoran.

Jika ditelaah dengan seksama pendapat Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, maka akan kita temukan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang risalah Nabi Muhammad saw tidak sampai kepada mereka. Karena itu, mereka tidak diwajibkan beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka, menurut Rasyid Ridla, maka sesuai QS 3:199, ada lima syarat untuk keselamatan mereka. Diantaranya, (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.

Sayang sekali, sebagaimana perilaku sejumlah kaum Pluralis Agama, penulis disertasi ini pun tidak benar dan tidak fair dalam mengutip pendapat-pendapat Rasyid Ridla. Padahal, dalam soal ini, Nabi Muhammad saw sudah menegaskan:

”Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seorangpun dari ummat sekarang ini, baik Yahud, maupun Nasrani, kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.” (HR Muslim).
Karena itu, sejalan dengan Prof. Salman Harun, saya juga keheranan, bagaimana mungkin para Profesor pembimbing dan penguji disertasi ini sampai melewatkan kekeliruan-kekeliruan yang sangat mendasar semacam ini. Masih banyak sekali data, metodologi, dan analisa yang perlu dipertanyakan dalam disertasi ini. Ada beberapa kemungkinan mengapa para penguji meloloskan disertasi ini: mungkin mereka tidak membaca dengan cermat; mungkin mereka tidak paham; atau mungkin mereka memang setuju dengan penulisnya. Wallahu A’lam.
Yang jelas, menurut saya, kasus disertasi ini merupakan suatu ”Tragedi Keilmuan” di UIN Jakarta. Apa yang bathil, sesat, dan keliru, dilegitimasi oleh sejumlah guru besar bidang agama. Lebih merupakan tragedi dan musibah lagi bagi umat ini, jika para doktor dan pakar-pakar Al-Quran yang berjubel di UIN Jakarta hanya berdiam diri dan ”bengong saja” menghadapi kasus semacam ini.

Tapi, apa pun, kita patut mengucapkan selamat dan salut atas usaha Abd Moqsith sampai meraih gelar Doktor bidang Ilmu Tafsir. Anak yang cerdas ini telah mencapai prestasi yang tidak kecil. Dia telah bekerja keras menghasilkan sebuah disertasi doktor, apa pun kondisinya.
Bagi kita, ini adalah pelajaran yang berharga: bahwa untuk menyesatkan manusia pun perlu kerja keras dan sungguh-sungguh. Kini, kita menunggu dari kalangan cendekiawan Muslim untuk membuat karya-karya ilmiah yang benar dan jauh lebih baik dari apa yang telah dihasilkan Abd Moqsith dan tokoh-tokoh liberal lainnya. Wa jaadilhum billati hiya ahsan.
Kita wajib melakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam menyikapi setiap penyimpangan dan kemunkaran ilmu. Tapi, kita tidak perlu risau. Kita sekedar menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, Al-Quran adalah wahyu Allah SWT. Al-Quran adalah milik Allah. Dan kita yakin, Allah punya cara sendiri untuk bertindak menjaga dan membuat perhitungan terhadap orang-orang yang berusaha merusak Kitab-Nya.

Sumber: http://www.insistnet.com/, diakses 11 Februari 2008