Palestina

Palestina Makin Sulit

Arif Suyoko
Pengamat Sosial, Tinggal di Riyadh, Arab Saudi

Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tanggal 3 Februari 2008 menyatakan kekecewaannya atas kegagalan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjalankan tanggung jawabnya mengatasi persoalan hak-hak asasi manusia yang menimpa warga Palestina di Jalur Gaza. OKI selanjutnya juga mendesak masyarakat internasional untuk segera bertindak melindungi rakyat Palestina di wilayah yang diduduki Israel.

Sikap OKI tersebut merupakan hasil pertemuan darurat yang dihadiri oleh para anggotanya di Jeddah baru-baru ini. Hal tersebut merupakan reaksi keprihatinan terhadap nasib rakyat Palestina terutama yang berada di wilayah Jalur Gaza yang menderita kekurangan bahan makanan akibat blokade wilayah tersebut oleh Israel.

Drama menyedihkan tentang perjuangan warga Palestina di Jalur Gaza untuk mendapatkan bahan makanan terjadi pada tanggal 23 Januari 2008 ketika mereka merobohkan pagar perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir. Ribuan warga Palestina menyeberang ke Mesir untuk belanja bahan-bahan makanan. Mesir pun membiarkan warga Palestina belanja di negaranya. Namun, kemudian Mesir menutup kembali pagar perbatasannya dan mengunci kembali warga Palestina di Jalur Gaza.

Persoalan di atas terjadi karena aksi blokade Israel terhadap wilayah Jalur Gaza. Meski demikian, yang justru menyedihkan adalah kondisi ini juga terjadi akibat friksi dan perseteruan antara faksi-faksi di tubuh para pejuang Palestina, yakni antara kelompok Fatah dan kelompok Hamas.

Friksi di atas dimulai dengan kemenangan Hamas dalam pemilihan umum Palestina tahun 2006. Namun, kemenangan Hamas tersebut tidak disukai oleh Israel dan Barat (Amerika Serikat). Israel dan Barat menganggap Hamas sebagai kelompok teroris. Oleh karena itu, Israel dan AS berusaha menciptakan suasana dan kondisi konfrontatif antara dua kelompok utama perjuangan Palestina tersebut. Perseteruan ini menjerumuskan mereka ke dalam konflik bersenjata, saling membunuh sesama pejuang Palestina.

Kondisi di atas mendorong negara-negara di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, untuk berusaha menyatukan kembali kelompok perjuangan Palestina yang berseteru. Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud mengundang para pemimpin perjuangan Palestina untuk melakukan perundingan rekonsiliasi dan konsolidasi di Makkah. Hasilnya adalah tercapainya kesepakatan pembentukan pemerintahan persatuan Palestina pada tanggal 8 Februari 2007.

Namun, ketika upaya tindak lanjut pembentukan pemerintahan persatuan tersebut sedang dilakukan, Israel dan pendukungnya di Barat terus memojokkan Hamas. Sayangnya hal ini justru kemudian mendorong perpecahan dan pertumpahan darah kembali di antara para pendukung Hamas dan Fatah. Kedua kelompok tersebut akhirnya pecah, Hamas menguasai wilayah Gaza dan Fatah menguasai wilayah Tepi Barat, dua wilayah Palestina yang dipisahkan oleh wilayah yang dikuasai Israel.

Menjepit perjuangan Palestina
Penderitaan bangsa Palestina di Jalur Gaza pada khususnya dan rakyat Palestina pada umumnya tidak terlepas dari rumitnya situasi yang harus mereka hadapi sekarang ini dalam perjuangan mereka melawan pendudukan Israel. Paling tidak ada empat front sulit yang harus mereka hadapi, yaitu internal Palestina sebagaimana dijelaskan di atas, Palestina vis a vis Israel, sikap negara-negara Arab, dan sikap Amerika Serikat.

Perpecahan internal kelompok perjuangan Palestina telah memperlemah kesatuan mereka menghadapi Israel. Kondisi ini sebenarnya sangat dikehendaki oleh Israel dan tampaknya memang telah dirancang oleh mereka. Dengan merontokkan persatuan kelompok-kelompok perjuangan Palestina, Israel berhasil menciptakan suasana yang mendorong warga Palestina keluar dari wilayah yang didiami mereka untuk kemudian dikuasai oleh Israel. Dengan demikian diharapkan seluruh warga Palestina terusir dari wilayah mereka.

Upaya untuk mencengkeram wilayah yang ditinggalkan oleh warga Palestina akibat diusir oleh Israel terbukti dengan rencana pembangunan 40 ribu unit apartemen bagi permukiman warga Israel di wilayah Yerusalem Timur. Yerusalem Timur adalah wilayah Palestina yang dianeksasi oleh Israel setelah kemenangan Perang Enam Hari tahun 1967.

Dengan referensi buku The Israel Lobby and US Foreign Policy yang ditulis oleh John J Mearsheimer dan Stephen M Walt (2007), maka aksi Israel di atas dapat dibaca dengan jelas ke mana arahnya. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kelompok neokonservatif Yahudi yang saat ini menguasai arah kebijakan Pemerintahan Israel maupun kebijakan luar negeri AS tidak menginginkan berdirinya negara Palestina berdampingan dengan negara Israel. Yang mereka inginkan adalah penguasaan seluruh wilayah Palestina dari Jalur Gaza sampai Laut Mati dan Sungai Jordan, bahkan sampai ke Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang dikuasai Israel.

Yang juga memprihatinkan adalah minimnya tanggapan dan reaksi serius dari negara-negara Arab/Islam terhadap kondisi yang dihadapi oleh warga Palestina saat ini. Reaksi OKI di atas pun muncul setelah sekian lama warga Palestina di Jalur Gaza mengalami kekurangan bahan makanan. Sikap lambannya OKI adalah cerminan sikap bangsa-bangsa Arab/Islam terhadap nasib rakyat Palestina.

Lebih tidak terdengar lagi adalah sikap Barat terutama Amerika Serikat, bahkan PBB dalam menghadapi situasi di Jalur Gaza ini. Demikian juga dengan media massa Barat diam saja.

Ketika berkunjung ke Israel, Presiden AS George Bush pada tanggal 10 Januari 2008 mendesak Israel untuk mundur dari wilayah pendudukan dan segera maju ke meja perundingan guna mencapai persetujuan damai dengan Palestina. Namun, pernyataan tersebut hanyalah retorika untuk menyenangkan pihak Arab karena setelah dari Israel, Presiden Bush akan meneruskan lawatannya ke beberapa negara Arab termasuk Arab Saudi. Pernyataan Presiden Bush tersebut bahkan kontradiktif dengan keputusannya untuk memberikan bantuan smart bombs ke Israel.

Pengamat Timur Tengah tidak yakin dengan tindak lanjut upaya perdamaian yang dilakukan oleh AS, apalagi oleh Presiden George Bush yang akan segera mengakhiri masa jabatannya. Dalam buku The Israel Lobby and US Foreign Policy di atas sangat gamblang dijelaskan bagaimana lobi-lobi Yahudi di AS membuat Pemerintah AS tidak berdaya mengambil inisiatif ataupun mendesak Israel untuk melakukan perdamaian dengan Palestina, terlebih lagi untuk mendorong berdirinya negara Palestina.

Masa depan sulit
Melihat kondisi di atas, tampak jelas bahwa masa depan perjuangan bangsa Palestina untuk meraih berdirinya negara Palestina semakin sulit. Hal tersebut semakin dipersulit dengan memperhatikan faktor kekuatan militer Israel yang semakin unggul, apalagi dengan penguasaan senjata pemusnah massal nuklir oleh negara tersebut. Hal ini pun tampaknya disadari benar oleh para pemimpin negara-negara Arab. Terlihat kecenderungan mereka menghindari sikap konfrontatif dengan Israel maupun Amerika Serikat, pendukung utama Israel.

Tidak ada acara lain untuk memperkuat perjuangan bangsa Palestina kecuali dengan cara klasik, yakni hendaknya para pemimpin Palestina sadar akan strategi besar jangka panjang Israel untuk menguasai seluruh wilayah Palestina dengan cara devide et impera. Apabila strategi tersebut berhasil, pada akhirnya mereka semua, warga Palestina, akan terusir dari negaranya. Karena itu, mereka harus menyadari hal ini dan kembali bersatu.

Demikian juga untuk negara-negara Arab, mereka harus merapatkan barisannya kalau hendak serius membantu perjuangan bangsa Palestina. Namun, konfrontasi militer dengan Israel sekarang ini bukan pilihan yang menguntungkan. Diperlukan inisiatif-inisiatif baru untuk menggiring dan menyadarkan semua pihak akan arti pentingnya perdamaian Israel dan Palestina bagi kedua bangsa tersebut maupun bagi Timur Tengah dan dunia internasional, terutama bagi AS.

Ikhtisar
- Tanggapan dan reaksi serius dari negara-negara Arab/Islam terhadap kondisi warga Palestina sangat lamban dan minim.
- Friksi internal di Palestina memperparah nasib rakyat Palestina.
- AS terbukti selalu menjadi penyokong Israel untuk mencaplok Palestina.

( )

Sumber: Republika, Jumat, 08 Februari 2008