Memerangi Buta Huruf


MEMERANGI BUTA HURUF

Oleh: Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag.

Islam adalah agama kaum “intelektual”, dalam arti sangat tidak menginginkan ada di antara umatnya yang bodoh. Iqra’ atau perintah membaca adalah kata pertama dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad. Kata ini sangat penting sehingga diulang dua kali dalam rangkaian wahyu pertama tersebut. Perintah ini tidak hanya ditujukan pada Nabi semata, tapi seluruh umat manusia di sepanjang sejarah kemanusiaan, karena realisasi perintah tersebut merupakan kunci segala keberhasilan.

Karena itu, sangat ironis jika umat Islam, baik di negara Islam atau negara yang penduduknya mayoritas muslim, hidup dalam kebodohan. Iqra yang maknanya di sekitar menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya sebenarnya dapat dijadikan sebagai pintu menuju masyarakat intelektual tersebut.

Buta Huruf di Indonesia

Berbagai hasil penelitian telah dipublikasikan untuk menggambarkan banyaknya rakyat Indonesia yang buta huruf. Data di Depdiknas, misalnya, ada sekitar 15 juta orang Indonesia yang hingga kini masih masih buta huruf (Republika 08/05/2007). Menurut Mendiknas, Prof Bambang Sudibyo, Jawa Timur menduduki peringkat pertama dengan 29,02 persen, disusul Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.

Penyakit ini cukup merata dalam masyarakat Indonesia, baik daerah yang masuk kategori tertinggal maupun daerah perkotaan. Menurut hasil pendataan Pemerintahan Kota Depok tahun lalu, di daerah ini terdapat 21.236 orang buta huruf. Sementara itu, Wakil Kepala Dinas Pendidikan provinsi Papua, James Modouw, menyatakan dari 2,5 juta penduduk provinsi Papua, 36 persen atau sekitar 400.000 orang buta huruf, naik cukup tinggi dari tahun 2000 yang “hanya” sekitar 300.000 orang.

Secara umum, ada tiga faktor yang “melestarikan” buta huruf dan menghalangi pemberantasannya. Pertama, jumlah sekolah yang tidak sesuai kebutuhan. Masih banyak daerah kantong tuna aksara yang tidak memiliki gedung sekolah atau cukup jauh sekolah terdekat. Masalah ini diperparah dengan tidak adanya rehabilitasi gedung-gedung yang telah rusak sehingga sekolah tersebut mati dengan sendirinya. Di Wonosobo, misalnya, ada gedung SD yang telah roboh 1980 diterjang angin ribut tidak pernah diperbaiki lagi sampai sekarang.

Kedua, masalah ekonomi. Banyak anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu tidak bisa sekolah karena harus membantu orang tua. Misalnya, di Musirawas Sumatera Selatan, kasus anak-anak buta huruf banyak disebabkan karena mereka harus membantu bekerja di perkebunan sawit dan karet. Ketiga, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kemampuan membaca, terutama orang dewasa.

Islam Memberantas Buta Huruf

Jika mengacu pada al-Qur’an, tidak selayaknya rakyat Indonesia, yang mayoritas muslim, mengalami masalah buta huruf. Al-Qur’an menyebutkan, sekalipun dalam keadaan perang, harus ada orang-orang yang tetap tekun mununtut ilmu, terutama ilmu agama (QS. 9:122). Pekerjaan ini merupakan jihad.

Ayat di atas diawali dengan istilah mâ kâna, yang berarti tidak pernah ada, atau tidak sepatutnya. Menurut salah satu pendapat, istilah mâ kâna biasanya digunakan untuk menekankan sesuatu dengan sungguh-sungguh dan menafikan kemampuan melakukan pekerjaan lain tanpa adanya sesuatu tersebut. Dengan demikian, ayat ini menekankan secara sungguh-sungguh untuk menuntut ilmu dan menafikan kemampuan untuk melakukan jihad di medan perang tanpa adanya di antara muslim yang tinggal memperdalam ilmu. Jika makna ini diperluas, dapat dikatakan bahwa kemampuan umat untuk melakukan jihad dalam bentuk apapun akan berkurang, bahkan hilang sama sekali, tanpa didukung oleh penguasaa ilmu pengetahuan.

Barangkali inilah salah satu rahasia kenapa perintah iqra’ diturunkan pertama kali. Membaca merupakan syarat utama membangun peradaban. Sejarah manusia, secara umum, dibagi pada dua periode utama, yaitu sebelum penemuan tulis baca dan sesudahnya. Dengan ditemukannya tulis baca, peradaban manusia telah berhasil melahirkan tidak kurang dari 27 peradaban, seja peradaban Sumaria sampai peradaban Amerika masa kini. Orang-orang yang datang belakangan mempelajari peradaban yang lalu dari apa yang ditulis para pendahulunya. Manusia tidak lagi memulai dari nol.

Dengan demikian, umat Islam Indonesia seharusnya berada di barisan terdepan dalam jihad memberantas buta huruf. Ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, mendorong, mengawasi dan membantu pemerintah untuk lebih serius memberantas buta huruf. Anggaran pendidikan harus ditingkatkan sesuai amanat konstitusi. Sudah seharusnya ditinggalkan upaya setengah hati, seperti sebuah Pemda yang “hanya” menyediakan dana Rp. 640 juta dari Rp. 1,1 milyar yang dibutuhkan. Kedua, aktif bersama seluruh masyarakat menanggulangi masalah ini, baik pribadi, ormas maupun parpol. Institusi bisnis yang melibatkan orang buta huruf juga harus didorong untuk memfasilitasi para buta huruf tersebut untuk belajar. Ini merupakan jihad yang tidak kalah nilainya di sisi Allah dari perang pisik menghadapi musuh Islam.